Kader IPNU Kota Bekasi yang bergabung secara tidak praktis |
Cara praktis gabung organisasi itu ada banyak cara. Namanya praktis, berarti tidak membutuhkan waktu lama untuk berproses sebelum terlabeli sebagai bagian dari organisasi tertentu.
Begini, organisasi itu kan sebuah wadah perkumpulan yang di dalamnya terdapat sesuatu yang terstruktur, geraknya pun sistematis, dan punya visi agar 'doktrin' organisasi dapat menyebar secara masif.
Jadi terstruktur, sistematis, dan masif itu harus seiring-sejalan dalam mencapai tujuan bersama. Nah, tujuan bersama atau katakanlah visi itu dapat dicapai karena ada misi; sebuah cara agar, misalnya, menambah ketertarikan orang lain kepada organisasi, sehingga roda kaderisasi tetap jalan, atau bisa juga agar dapat meraup banyak keuntungan.
Keuntungan-keuntungan yang didapat dalam organisasi pun beragam. Seperti misalnya keuntungan materi berupa uang atau harta, dan pengalaman yang tak didapat dari luar organisasi.
Kemudian, selain itu, kita juga akan mendapat keuntungan jaringan sosial yang lebih luas dan bisa jadi mendapat keuntungan lain; katakan saja seperti keuntungan biologis. Kasarnya, dapat jodoh berkat washilah organisasi.
Karena itu, saya sering katakan kepada teman-teman yang gandrung terhadap organisasi bahwa beruntunglah orang-orang yang berkumpul dan berhimpun dalam organisasi. Terlebih, bagi mereka yang menghidup-hidupi organisasi.
Memang, berorganisasi akan banyak menyita waktu, tenaga, bahkan harta. Tetapi hasilnya, tidak seketika itu juga kita dapatkan. Melainkan di hari tua. Percaya saja. Toh, banyak tokoh aktivis organisasi yang sukses karena punya kapasitas dan kemampuan di bidangnya masing-masing.
Di setiap organisasi, kita pasti punya sosok atau tokoh yang diidolakan sebagai rule model untuk melecut diri agar punya semangat untuk menghidupi organisasi. Tapi percayalah, bahwa siapa pun yang tidak pernah mempelajari sejarah atau jejak langkah tokoh dalam organisasi, maka akan kesulitan mencari bentuk.
Bentuk, maksudnya, adalah patokan atau jalur agar mampu berjalan sesuai koridor. Yakni sesuai cita-cita pendiri, misalnya, atau tokoh besar dalam organisasi.
Nah, orang-orang yang kehilangan bentuk dalam berorganisasi itulah, saya yakin seratus ribu persen bahwa mereka pasti masuk atau bergabung dalam organisasi secara praktis, instan, dan tidak melalui tahap proses sebagaimana mestinya.
Saya pernah ngobrol dengan salah seorang teman, bahwa dalam organisasi terdapat dua bentuk agar calon kadernya itu dapat secara serius (lebih-lebih tulus) mengurusi organisasi.
Pertama, apakah kita mesti menciptakan kenyamanan-kenyamanan secara nonformal terlebih dulu, baru kemudian diajak berorganisasi secara serius?
Kedua, apakah kita lakukan terlebih dulu kesengsaraan, penggojlogan, dan penggemblengan, baru kemudian memberikan kenyamanan-kenyamanan?
Bagi saya, jika poin pertama yang diterapkan, maka yang terjadi adalah kader penerus kita itu akan malas-malasan, tidak serius berorganisasi, bahkan melunjak. Kenapa? Karena di awal sudah diberi kenyamanan-kenyamanan.
Maksud saya kenyamanan-kenyamanan itu adalah kedekatan emosional atau membangun keakraban pra-perekrutan. Maka ketika diajak serius untuk berorganisasi, jiwa mereka tidak akan pernah bisa menerima. Ini hukum alam.
Tetapi dalam poin kedua, menurut saya, akan terjadi sebuah dinamika dalam batin seorang calon kader bahwa berorganisasi itu memang dibutuhkan keseriusan, tidak main-main. Sebab, organisasi adalah amanah. Lebih jauh, amanah bersama yang harus dilakukan secara bersama-sama.
Seleksi alam akan berperan. Menyortir orang-orang yang serius dan tidak. Mereka yang hanya bermain-main saja, akan dengan sendirinya, secara hukum alam, pergi dan bahkan hilang dengan sendirinya.
Bahayanya, ada banyak pula cara-cara praktis untuk bergabung ke dalam organisasi. Tetapi, ini adalah penyakit. Saya menyebut sebagai benalu organisasi, dan sering terjadi.
Berikut ini adalah lima cara praktisnya:
Pertama, orang kaya.
Organisasi tentu saja membutuhkan biaya operasional agar perekonomian tetap berjalan, sehingga organisasi bisa terus hidup. Nah biasanya, orang-orang kaya yang dikenal dari temannya teman dalam organisasi ini diajak hanya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Sialnya, si orang kaya ini mau. Kemudian dia menjadi pengurus tanpa terlebih dulu mengikuti pelatihan-pelatihan atau diklat kepemimpinan dan keorganisasian. Dia tidak pernah tahu bagaimana budaya organisasi yang ada, sehingga bisa seenaknya saja mengatur lantaran punya banyak uang.
"Sebenarnya, orang kaya itu sudah tidak ada yang dicari lagi selain tahta atau kedudukan," kata saya kepada teman suatu ketika, mendoktrin maksudnya.
Kedua, trah baik atau darah biru.
Benar saja jika Imam Ghazali pernah mengatakan, "Jika kau bukan anak dari seorang raja dan ulama besar, maka menulislah!"
Kalimat mutiara itu bukan hanya bisa dimaknai sebatas dari keahlian menulis saja. Tetapi juga di segala aspek. Tafsir bebas saya begini: "Jika kau bukan anak dari seorang terkemuka, jangan harap bisa mendapatkan kedudukan tanpa berdarah-darah."
Ini juga penyakit. Karena tidak mungkin, kita menyuruh anak kiai atau tokoh publik yang punya pengaruh kuat untuk mengikuti tahap proses kaderisasi. Mustahil dilakukan, kecuali jika memang ada kesediaan dan kerelaan dari dirinya sendiri untuk berproses.
Kalaupun diadakan proses-proses kaderisasi atau keorganisasian, itu bukan semata untuk membuka pengetahuannya tentang organisasi. Melainkan hanya untuk pemenuhan syarat administratif agar bisa dengan leluasa menduduki posisi.
Ketiga, punya kenalan orang dalam.
Biasanya ketika sesaat usai pemilihan ketua, dibentuk sebuah tim formatur untuk melakukan restrukturisasi organisasi. Nah, dalam proses restrukturisasi itu tak jarang, tim formatur kekurangan orang untuk dimasukkan ke dalam kepengurusan. Nah, di sinilah cara praktis dimainkan.
Mereka akan mencari orang, teman dekat, keluarga, saudara, dan bahkan tetangga yang sefrekuensi (punya semangat dan sudut pandang yang sama atau sepemahaman) untuk menduduki jabatan. Ini juga penyakit karena tidak melalui tahap proses kaderisasi sebelum menjadi pengurus organisasi sebagaimana mestinya.
Ke depan, orang-orang ini akan menjadi benalu karena merasa punya tameng untuk berlindung, yaitu orang yang dikenalnya sebelum masuk organisasi. Profesionalisme organisasi jadi terabaikan karena sudah ada kedekatan emosional sebelumnya.
Keempat, punya incaran lawan jenis.
Ini bahaya dan sering terjadi. Banyak orang yang ikut organisasi hanya karena ada seseorang yang dikaguminya berkecimpung di dalam organisasi. Dia akan rela berkorban mengikuti segala peraturan yang ada dalam rangka menarik perhatian lawan jenis.
Seolah dialah organisatoris paling kompeten sehingga pada suatu ketika target atau incarannya itu jatuh hati. Semangat pun akan terpompa lebih ketika dua sejoli ini, yang saling cinta, berada dalam satu organisasi.
Tapi ketika terjadi konflik percintaan, mereka akan sulit untuk membedakan antara urusan organisasi dan pribadi, sehingga menjadi bias tak punya bentuk. Walhasil, salah satu diantara keduanya atau bahkan kedua-duanya menghilang dari peredaran.
Kelima, ikut-ikutan.
Sebelum masuk ke dalam organisasi, tentu saja kita sudah punya kelompok kecil. Bisa kita sebut itu adalah geng. Kelompok kecil ini akan selalu bersama-sama ke mana pun pergi.
Maka jika salah satu diantaranya memang punya kompetensi organisasi, yang lainnya akan ikut karena tidak ingin berpisah lantaran kesibukan yang berbeda.
Akibatnya, orang-orang yang berorganisasi hanya karena ikut-ikutan ini tidak tahu bagaimana organisasi itu berjalan. Bahkan bahayanya, mereka tidak tahu sejarah, budaya, dan komunikasi yang ada dalam organisasi.
Mereka akan menjadi benalu karena ketidaktahuannya. Dan sungguh celaka apabila mereka tidak mau mempelajari segala sesuatu yang harus mereka pelajari dalam organisasi. Lho kenapa tidak mau? Jawabannya karena mereka hanya ikut-ikutan.
Itulah lima cara praktis untuk bergabung ke dalam organisasi tanpa mengikuti proses terlebih dulu. Pertanyaannya, sepraktis apakah kita dalam berorganisasi?
Atau justru, setelah berorganisasi kita kemudian dihadapkan pada segala sesuatu yang praktis sehingga setelah itu menjadi malas untuk menghidupi organisasi.
Realistis perlu. Tapi idealisme organisasi harus terus dijalankan selama kita masih menjadi bagian dari organisasi. Kalau kita memang sudah tidak ingin memperjuangkan idealisme, mencapai cita-cita atau visi bersama, dan merasa lelah lantaran tidak mendapatkan apa-apa karena kapasitas diri tidak berkembang; atau tidak mau mengembangkan potensi diri, maka lebih baik mundur saja.
Wallahua'lam...
0 komentar: