Sumber: mediaindonesia.com |
Indonesia adalah tanah air yang molek. Dilukiskan oleh Edward Douwes Dekker (Multatuli), “Laksana sabuk untaian zamrud yang melilit khatulistiwa”. Indonesia tanah air yang kaya, sebagaimana yang dilukiskan di dalam kitab klasik Ramayana, pada sekitar 2500 tahun lalu, sebagai Nagari Suarna Dwipa (Pulau Emas).
Indonesia merupakan tanah air yang beraneka warna bak taman sari dunia; sebuah negeri kepulauan terbesar di dunia, yang menyatukan lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya di sepanjang rangkaian tanah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Jauh sebelum kemerdekaan, pada 1928, Bung Hatta mengungkapkan, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkan tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
Rasa memiliki dan mencintai Indonesia, bisa bersifat negatif-defensif (melawan musuh dan keburukan), juga bisa saja bersifat positif-progresif (mengolah potensi sumber daya yang dimiliki demi kemakmuran dan kekayaan bangsa).
Secara defensif, tumbuhnya bibit-bibit nasionalisme mulai dikobarkan oleh tokoh keagamaan dan kesukuan yang bersifat lokal dan berserak.
Ketika perhimpunan-perhimpunan yang bersifat terbuka belum hadir, kebutuhan untuk membela negeri dari cengkeraman penjajahan diorganisasi, diberi isi dan tujuan oleh perkumpulan serta jaringan keagamaan dalam batas-batas kesukuan.
Namun, ada banyak pula cara untuk mengekspresikan kecintaan pada nusa dan bangsa. Nasionalisme tidak hanya ditujukan untuk memerangi keburukan, tetapi juga untuk menghadirkan kebaikan.
Nasionalisme tidak hanya bersandar pada apa yang bisa kita lawan, tetapi juga bisa pada apa yang kita tawarkan. Nasionalisme sejati haruslah berani, bukan sekadar mempertahankan. Nasionalisme berarti juga harus mampu memperbaiki keadaan negeri.
Kecintaan pada nusa dan bangsa bisa saja diekspresikan dalam bentuk solidaritas sosial dalam menolong korban-korban bencana tanpa memandang latar belakang, kecuali karena kemanusiaannya.
Mahasiswa, dalam ekspresi kepedulian untuk beraksi dalam rangka mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan.
Pemuka agama, yang senantiasa berperan aktif dalam mengingatkan tentang kemerosotan moral.
Rasa memiliki dan mencintai Indonesia juga terkristalisasi dalam semangat proklamasi. Bung Karno mengatakan bahwa semangat proklamasi adalah semangat rela berjuang. Berjuang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri.
Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membentuk dan membangun negara.
Ia menambahkan, “...dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
Rasa memiliki dan mencintai Indonesia harus tercermin dari kesanggupan untuk merawat persatuan dan keragaman. Clifford Geertz mengungkapkan, Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru.
Nama Indonesia sebagai proyek nasionalisme politik memang baru diperkenalkan pada sekitar 1920-an. Tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa. Melainkan berakar pada tanah air berserta unsur-unsur sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di Nusantara.
Semangat persatuan dalam keragaman itu dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu, secara konseptual, merupakan prinsip dan visi kebangsaan yang kuat.
Sebuah prinsip kebangsaan yang dapat mempertemukan kesilaman tradisi dan kemajemukan masyarakat Nusantara dalam kebaruan negara-bangsa Indonesia; dengan kesiapan untuk menghargai perbedaan seraya mengusahakan persatuan dalam dasar negara, konstitusi negara, bentuk, lambing, dan bahasa negara.
Dengan prinsip yang sama, penyelenggaraan negara diharapkan dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah manusia Indonesia, berdasarkan semangat persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Baca juga: Pancasila dalam Perbuatan Kemanusiaan
Baca juga: Pancasila dalam Perbuatan Kemanusiaan
Pada 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai pidato kelahiran Pancasila, Bung Karno menyampaikan pidato dengan nada yang retoris. Ia mengajukan pandangannya:
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Negara Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberikan kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan pada satu golongan? Apakah maksud kita begitu?
Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara, semua untuk semua. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain. Tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat (negara bangsa).
Indonesia yang berdaulat dan bersatu merupakan cita-cita bangsa Indonesia sejak dulu, bahkan sedari Indonesia belum merdeka secara politik. Untuk meraihnya, sejarah bangsa ini sudah menunjukkan bahwa semangat berkorban sudah menjadi bagian dari perjuangan.
Bung Karno dengan sangat tegas pernah mengatakan, “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Tapi bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”.
Pada akhirnya, rasa mencintai, persatuan, dan kekeluargaan hanya bisa diwujudkan dengan kerelaan berkorban, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Wallahua'lam...
(Tulisan di atas disarikan dari buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif)
0 komentar: