Sumber gambar: kbr.id |
Salah seorang fasilitator bertanya, bisakah kita toleran kepada kelompok-kelompok intoleran?
Seorang peserta berdiri dan bercerita dengan sangat emosional. Ia jamaah Ahmadiyah.
"Bagaimana saya bisa toleran kepada kelompok intoleran jika saudara saya mati karena mereka. Saya tidak diizinkan beribadah di masjid kami yang disegel lalu dibakar. Keluarga kami difitnah, kami kehilangan tempat tinggal. Saya tidak punya teman di kampus karena tidak berani membuka identitas. Ingatan kekerasan itu sangat traumatis di telinga, mata dan tubuh saya. Kenangan masa kecil saya begitu buruk..."
Toleransi adalah sesuatu yang diupayakan. Cara satu-satunya adalah memutuskan rantai dendam yang terus diwariskan dari satu ingatan buruk ke ingatan buruk lainnya... Sulit. Tapi tak ada pilihan lain.
Saya menunduk malu karena terisak.
*****
Tulisan di atas adalah status facebook Kalis Mardiasih. Dia seorang aktivis perempuan yang vokal menyuarakan tentang kesetaraan dan kemerdekaan perempuan atas tubuhnya. Tulisan-tulisannya selalu menarik untuk dibaca. Itulah kenapa dia "ditembak" oleh Agus Mulyadi (Pemred Mojok.co) dan kemudian dilamar beberapa waktu lalu.
Tapi sesungguhnya, bukan itu yang ingin dibahas. Saya tidak ingin membicarakan (ghibah) orang lain. Kalau saya ghibah, kalian yang membaca tulisan ini pasti kena dosanya. Maka dari ini dan itu, saya tidak mau kita kena dosa bareng-bareng. Biar sendiri-sendiri saja. Maksudnya, saya dengan pahala dan kebaikan saya sendiri, kalian dengan dosa dan keburukan kalian sendiri. Adil, kan?
Oke. Kembali ke pembahasan.
Status Kalis di atas, menarik untuk dibahas. Ternyata, pertanyaan bisakah kita toleran kepada kelompok-kelompok intoleran itu selalu relevan untuk didiskusikan di sepanjang zaman. Tentu tidak hanya sebatas mewacanakan atau onani intelektual saja, tetapi juga mengglorifikasikannya kepada khalayak bebas, hingga ke akar rumput.
Dulu, saya pun sering ditanya oleh beberapa kelompok dengan pertanyaan demikian. Tetapi, saya selalu menjawabnya normatif dan biasa-biasa saja. Mirip anggota DPR ketika bicara dan memberikan solusi yang sebenarnya bukan solusi. Karena hanya muter-muter nggak jelas.
Bahkan, pernah juga ada yang bertanya: "Boleh atau tidak kita membenci FPI dan sejenisnya karena perilakunya yang tidak manusiawi tapi membawa label Islam, padahal Islam sendiri adalah agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan?"
Ada juga pertanyaan: "Apakah kita harus mengakomodir kelompok atau aliran sesat (yang dihukumi oleh MUI) dan tidak menerima mereka dalam pergaulan, karena khawatir akan berdampak pada terkikisnya iman kita sebagai muslim?"
Tak hanya itu, pertanyaan juga kerap muncul ke hadapan saya. "Apakah dengan tidak meladeni kelompok yang berseberangan dengan kelompok kita itu salah? Lalu apakah merasa lebih benar dari kelompok yang berseberangan dengan kelompok kita itu benar, atau salah? Bagaimana seharusnya kita?"
Lagi, saya katakan, jawaban-jawaban yang saya berikan atas pertanyaan-pertanyaan itu berbelit dan hampir tidak menemukan konklusi. Kenapa? Karena sesungguhnya, pertanyaan yang mereka ajukan itu sudah mengandung jawaban di otaknya. Pertanyaan itu diajukan, tak lebih, hanya untuk menyamakan persepsi saja.
Maka ketika memberikan jawaban, saya melihat siapa lawan bicara yang ada di depan muka. Begitulah semestinya otak dan pemikiran kita bekerja; menyesuaikan kadar pembicaraan dengan siapa kita berbicara. Jangan memaksakan kehendak pemikiran kepada mereka yang tidak sebanding, baik di level yang lebih rendah; apalagi kepada orang yang levelnya sudah tingkat dewa.
Kalau pertanyaan-pertanyaan itu, menurut saya, sudah mengandung jawaban sendiri dan hanya bertujuan untuk mencocokkan jawaban, maka saya selalu menjawab, "Menurut saya begini." Karena bagi saya, jawaban yang bersifat subjektif merupakan apple-to-apple dengan pertanyaan yang juga bersifat subjektif.
Jadi, apakah kita harus toleran dengan kelompok intoleran? Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Tergantung dari sudut mana kita melihat, di posisi mana kita berdiri, dan berada di wilayah mana kita berpihak. Pertanyaan dan jawaban sangat menentukan itu. Begitu pula ketika pertanyaan kapan nikah ditujukan kepada kita. Paham ya, mblo?
Kelompok Ahmadiyah, yang akibat fatwa MUI, dianggap memiliki doktrin keagamaan sesat oleh sebagian besar umat Islam punya sudut pandangnya sendiri ketika menjawab pertanyaan di atas. Mereka punya rekam sejarah memilukan yang tak pernah terlupa. Maka, wajar saja ketika mereka hampir tidak bisa toleran kepada kelompok intoleran yang memporak-porandakan bangunan fisik maupun nonfisik yang mereka punya.
Jemaat Ahmadiyah tidak hanya disudutkan karena doktrin, tetapi juga diasingkan di kehidupan sosial. Sehingga (kita bisa melihat beberapa kejadian ke belakang) bukan tidak mungkin jika Ahmadiyah menaruh "dendam" kepada kelompok intoleran. Kita bisa mafhum dan memaklumi dalam kasus Ahmadiyah yang serba tidak bebas untuk hidup di negara demokrasi yang berbineka tunggal ika ini.
Namun, wahai para pembaca yang dirahmati alam semesta berserta isinya, tentu saja akan berbeda dengan pernyataan saya dalam menjawab pertanyaan di atas itu. Saya tidak punya sejarah kelam dengan FPI dan kelompok intoleran lainnya yang berafiliasi secara pemikiran dengan FPI. Kareannya, saya akan menjawab dengan sangat mudah, bahkan terkesan menggampangkan.
Misalnya, saya akan menyuruh mereka melihat dan membaca Al-Quran bahwa Allah berfirman: "Wa jazaa-u sayyiatin sayyiatun mitsluha, fa man ‘afaa wa ashlaha fa ajruhuu ‘alallah, Innallaha laa yuhibbu-dzh dzholimiin." (Asy-Syura: 40)
Tadabbur saya atas ayat ini agar kita tidak menaruh dendam; membalas kejahatan dengan kejahatan, sehingga rantai permusuhan tidak ada putusnya. Maka, ayat tersebut tentu saja harus kita maknai untuk memutus rantai permusuhan, kebencian, dan bahkan perilaku intoleransi itu sendiri.
Bahwa sesungguhnya dalam Islam, dipersilakan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan yang serupa. Tetapi toh, hal tersebut justru akan menambah keruh suasana. Maka, orang-orang yang melawan kejahatan dengan kebaikan (permaafan dan ajakan rekonsiliasi), akan mendapat banyak ganjaran kebaikan (katakanlah pahala) di sisi Allah. Kenapa demikian? Jawabannya karena Allah tidak suka dengan orang-orang yang zalim.
Itulah cara agar rantai permusuhan diantara kita segera putus, sehingga berganti dengan tali silaturahmi yang kuat dan kekal. Mengajak untuk berkebaikan pada musuh atau lawan merupakan sesuatu yang mulia dan harus terus dilestarikan. Tidak boleh tidak. Harus dilakukan sesegera mungkin, meskipun betapa pedih dan sulitnya jika hal ini dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah.
Maka, yang dilakukan oleh Prabowo di MRT itu sudah tepat sekali. Bahwa narasi selama Pemilu 2019 kemarin adalah kecurangan TSM yang dilakukan oleh kubu Jokowi dan kemudian dibalas oleh Prabowo dengan mengajak rekonsiliasi perlu dan patut kita apresiasi.
Tapi kok, btw, nyambungnya jadi ke Prabowo sih, ya? Udah, ah~
Keren.
BalasHapus