Sumber gambar: dream.co.id |
Menurut Imam Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, tujuan makan adalah agar tetap bisa hidup. Maka, hendaklah tidak berlebihan (lapar dan kenyangnya). Karenanya, Imam Ghazali menganjurkan agar kita dapat menempuh jalan yang tengah, yakni diantara ifrath (terlalu lapar) dan tafrith (terlalu kenyang).
Di tengah-tengah diantara itu, merupakan akhlak yang baik. Sebab tujuan akhir dari makan, menurut Imam Ghazali adalah agar kita mampu senantiasa beribadah kepada Allah dalam segala bentuk, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Tujuan makan, menurutnya ada dua, yakni baqo-ul hayaa' (bertahan hidup) dan quwwatul 'ibadah (mantap dalam beribadah).
Pada dasarnya, tujuan paling ideal dari segala tindak-tanduk manusia adalah meniru malaikat. Meski tidak bisa seratus persen menjadi seperti malaikat, tetapi seyogyanya manusia harus mampu meniru sifat-sifat malaikat. Malaikat, kata Imam Ghazali, merupakan makhluk yang berwujud roh dan tidak punya jasad, sehingga mereka tidak punya rasa lapar dan tidak butuh makan.
Namun, karena kita diharapkan mampu seperti malaikat, maka ketika kita makan haruslah sampai pada batasan-batasan sehingga "lupa" dengan perut. Batas itu bisa dicapai saat kita makan tidak secara berlebihan. Dengan demikian, saat kita makan maka kita akan langsung ingat perut.
Ketika makan berlebihan, kita akan ingat perut, karena perut akan menjadi sakit. Saat perut sakit, kita akan secara terus-menerus ingat perut. Begitu pula saat kita lapar secara berlebihan, kita juga akan selalu mengingat perut karena sedang kesakitan menahan rasa lapar.
Nah, kalau kita makan sampai pada batas di tengah-tengah (diantara kenyang dan lapar), maka secara otomatis kita akan lupa dengan perut sebagaimana malaikat (karena mereka tidak punya perut, maka tidak merasakan sakit apa pun), baik sakit karena sangat lapar maupun karena kenyang yang terlalu. Dalam hal ini, meniru malaikat yang dimaksud Imam Ghazali adalah bukan meniru tidak makan sama sekali, melainkan makan dengan mengetahui batas sehingga kita tidak ingat perut sama sekali.
Apa batasnya? Yakni, makan secukupnya sehingga tidak merasakan kekenyangan dan tidak merasa sangat lapar. Sebab, ketika kita dalam keadaan yang terlalu lapar dan kenyang, kita akan selalu ingat dengan perut yang berdampak menghilangkan daya konsentrasi. Sehingga, kita menjadi tidak bisa melakukan aktivitas karena rasa sakit yang menjangkiti perut.
Jadi, meniru malaikat yang dimaksud adalah makan secara "moderat". Itulah etika makan menurut Kitab Ihya Ulumiddin ala Imam Ghazali. Sebab, sebaik-baik akhlak adalah yang posisinya berada di tengah-tengah. Tidak ifrath (ekstrem kanan) dan tafrith (ekstrem kiri). Ifrath berarti lapar berlebihan dan tafrith berarti kenyang berlebihan.
Mengenai pola makan yang moderat, Imam Ghazali memberikan tamsil atau analogi. Yakni, diumpamakan seperti semut yang ditempatkan di tengah-tengah lingkaran yang semua sudutnya dibakar api sehingga tidak mungkin semut itu keluar dari lingkaran. Begitu pula, pada hakikatnya, manusia yang dalam kehidupan ini dilingkupi oleh lingkaran api.
Apa lingkaran api itu? Tak lain dan tak bukan adalah syahwat. Menurut Imam Ghazali, manusia tidak akan bisa menghindari syahwat. Selama hidupnya, manusia akan selalu berada dalam kepungan api yang berkobar dari segala penjuru, dan tidak akan bisa lari sebagaimana semut yang berada di dalam lingkaran api yang dicontohkan oleh Imam Ghazali.
Semut itu akan selalu berusaha lari dari panasnya lingkaran karena kalau terlalu dekat dengan sudut lingkaran yang berkobar api itu, dia akan merasa sangat panas. Maka, salah satu cara terbaik adalah dengan mencari atau menempuh titik tengah yang jauh dari seluruh penjuru lingkaran. Saat tiba di titik tengah, maka dia akan selamat. Tapi selama belum mencapai titik tengah, dia akan lari terus-menerus. Sehingga, semut itu akan menetap di tengah-tengah.
Kenapa semut itu mencoba mencari titik tengah? Imam Ghazali mengatakan, karena titik tengah adalah tempat yang paling jauh dari panas. Inilah tamsil, contoh, analogi, atau metafor yang diberikan Imam Ghazali sebagai cara untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam hidup dan kehidupan. Imam Ghazali selalu berusaha untuk mendekatlan keterangan yang (mungkin) abstrak kepada para pembacanya, tetapi dengan mengambil contoh yang konkret. Karenanya, Imam Ghazali dalam Kitab Ihya Ulimiddin selalu menggunakan permisalan.
Sesungguhnya, tamsil diatas dapat juga digunakan di kehidupan kita. Sebab, manusia pasti selalu berada dalam kepungan api (syahwat). Kepungan itu terjadi dalam banyak hal, seperti dalam pekerjaan, menuntut ilmu, dan mencari nafkah. Nah, solusi yang paling tepat adalah saat kita mampu memosisikan diri di tengah-tengah. Seperti semut yang dikepung api itu tadi, yang mencari cara agar aman, dengan memilih untuk berada di titik tengah yang jauh dari berbagai sisi api yang melingkari dirinya.
Demikianlah contoh yang digunakan oleh Imam Ghazali. Syahwat (atau api) itu mengepung kita dari segala penjuru. Namun, hal ini hanya berlaku untuk manusia, tidak dengan malaikat. Lantas pertanyaannya, kenapa malaikat tidak dikepung oleh lingkaran api? Jawabannya adalah karena malaikat tidak punya syahwat, kesenangan, dan emosi. Jadi, hanya manusia yang dikepung syahwat, sedangkan posisi malaikat berada di luar dari lingkaran api.
Sekali lagi, kita memang diharapkan agar seperti malaikat, tetapi sesungguhnya kita tidak akan bisa menjadi malaikat seratus persen. Manusia, pada dasarnya, memiliki keinginan untuk mencapai taraf rohani seperti malaikat, tapi sebenarnya tetap tidak akan bisa menjadi malaikat.
Dengan kata lain, sejauh manusia berusaha untuk keluar dari lingkaran syahwat, maka sesungguhnya tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran syahwat itu. Sebab, syahwat merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari hakikat kita sebagai manusia. Walau sekuat apa pun kita berusaha seperti malaikat, kita tetap tidak akan bisa.
******
Noted: Tulisan diatas disarikan dari Ngaji Ihya Ulumiddin #172 halaman 982 yang diampu oleh Gus Ulil Abshar Abdalla
0 komentar: