Ilustrasi. Sumber: NU Online |
Kisah ini dialami oleh Mas Abdul Gaffar Karim. Seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Saya tahu kisah ini dari facebook Ienas Tsuroiya, putri KH Ahmad Mustofa Bisri, yang membagikan ulang kenangan dua tahun lalu (2018). Kenangan itu adalah kisah menarik mengenai khutbah Jumat yang provokatif ini.
Dalam tulisan di dinding facebooknya, Mas Gaffar mengisahkan peristiwa yang telah dialaminya beberapa tahun silam. Lebih tepatnya saat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) masih menjabat sebagai anggota DPR RI, Joko Widodo masih Wali Kota Solo, Anies Baswedan masih Rektor Universitas Paramadina, dan suasana politik Indonesia belum segaduh sekarang.
Saat itu Jumat, ia sedang berada dalam workshop terbatas tentang perumusan nilai-nilai dasar pemikiran Gus Dur di sebuah hotel di kawasan perbelanjaan elektronik di Jakarta. Sekira pukul 11.30, para pemikir itu diberi waktu break untuk Jumatan.
"Tak jauh dari hotel lokasi workshop itu terdapat sebuah masjid yang cukup besar. Para peserta workshop pun pergi ke masjid itu. Saya turut dalam mobil Gus Ulil Abshar Abdalla ke masjid itu," tulis Mas Gaffar, pria kelahiran Sumenep, Madura ini.
Ketika tiba di masjid, ia melihat barisan shaf sudah cukup penuh, sehingga dirinya dan Gus Ulil hanya kebagian duduk di teras. Khutbah sudah dimulai, sehingga ia mempercepat gerakan salatnya (tahiyyatul masjid).
Dari luar masjid, ia mendengarkan khutbah dan kemudian merasakan betapa suara khatib itu agak keras. Mulanya, yang keras hanya nada bicara, tapi lama kelamaan yang keras adalah isi khutbahnya.
"Khatib berbicara tentang ancaman kristenisasi di beberapa kawasan di Jakarta, yang dilakukan dengan banyak cara. Kata dia (khatib), orang-orang Kristen terutama yang Cina, banyak sekali membiayai upaya pemurtadan orang-orang Islam," tulisnya.
Mas Gaffar mulai tidak nyaman. Rupanya, ia tidak menyukai khutbah berbau SARA. Terlebih, jika khutbah yang seperti itu dilakukan di sebuah masjid yang berada di tengah-tengah kawasan nonmuslim, seperti di area perdagangan elektronik itu.
Terhadap khutbah-khutbah yang demikian itu, ia tidak pernah ragu untuk bersikap. Dengan tegas dan yakin, Mas Gaffar harus meninggalkannya. Ia tidak ingin hatinya terkotori oleh kebencian, apalagi yang dicemari melalui mimbar suci di masjid.
Ia lantas berdiri, balik kiri, dan melangkah melintas shaf-shaf jamaah di teras. Gus Ulil yang duduk satu atau dua shaf di belakangnya, memandang seraya memberi isyarat bertanya, "Mau ke mana?"
Ia menjawab dengan menunjuk ke arah luar masjid dan menggerakkan bibir, "Balik ke hotel."
Gus Ulil kemudian mengangguk dan tetap duduk di shafnya.
Saat bertemu di ruang makan siang di hotel, Gus Ulil bertanya kepada Mas Gaffar, "Sampeyan ke mana tadi, kok pergi duluan?"
"Balik hotel, Gus. Nggak suka saya dengan khutbahnya yang menebar kebencian SARA tadi."
"Terus nggak jumatan?"
"Saya kan musafir, zuhur saja boleh."
Gus Ulil pun tertawa ngakak dan kemudian bertanya lagi, "Tapi sampeyan tahu nggak, siapa tadi yang khutbah itu?"
"Nggak tahu, kan tadi mimbarnya nggak kelihatan dari teras."
"Itu tadi khatibnya Rizieq Shihab. Saya kenal suaranya."
"Walahhh, pantesan isinya keras begitu, seperti sengaja menantang sekitar."
"Lha iya, makanya saya tidak pergi tadi. Saya mau dengerin, kalau sampai khutbahnya nyenggol-nyenggol Gus Dur, saya akan interupsi."
"Wah mantap. Nyali saya belum sampai segitu, Gus. Nyali saya baru sampai meninggalkan khutbah ora mutu (yang tidak berkualitas)."
*****
Sumber: klik di sini
0 komentar: