Saat Presiden Joko Widodo berkunjung, beberapa waktu lalu, Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengumumkan bahwa rumah ibadah; seperti masjid dan gereja, akan dibuka kembali pada hari (Jumat) ini. Tentu saja kabar tersebut sangat membahagiakan. Terutama bagi kalangan yang gemar beribadah secara berjamaah.
Rasanya rindu sekali salat di masjid, karena saya sudah hampir 3 bulan, tidak pernah salat berjamaah di masjid. Sebagaimana dikatakan Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud, dalam suasana pandemi seperti sekarang ini, hendaknya umat Islam mampu memindahkan suasana masjid dan musala di rumah masing-masing. Maka, saya pun demikian. Bahkan saat Ramadan, sebulan penuh, saya dan keluarga menggelar salat tarawih di rumah.
Hal tersebut bukan lantaran saya takut terhadap virus yang kecil dan tak kasat mata itu. Tetapi lebih kepada mematuhi aturan pemerintah dan anjuran para ulama melalui PBNU dan MUI, yang menurut saya, para ulama di kedua organisasi Islam itu sangat berkompeten dalam mengeluarkan anjuran. Meskipun dalam beberapa hal, saya juga sering tidak sepakat dengan maklumat yang dikeluarkan MUI.
Singkatnya, saya tidak mau salat berjamaah di masjid karena itu sudah menjadi larangan dari pemerintah dan ulama. Masjid ditutup untuk beberapa saat. Tidak boleh digunakan untuk sementara waktu. Tetapi kalau saya tetap memaksakan untuk salat di masjid padahal sudah dilarang, maka itu sama saja seperti mencuci pakaian dengan menggunakan air kencing.
Kabar dibukanya kembali rumah ibadah yang disampaikan oleh Bang Pepen (sapaan akrab Walikota Bekasi) menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Sebagian umat Islam, yang memaksa diri untuk salat berjamaah di masjid, sudah tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena takut 'digrebek' petugas. Salat kok sembunyi-sembunyi? Aneh.
Hari ini, Jumat pertama di bulan Syawal, masjid di Bekasi kembali dibuka. Tapi tentu saja, masjid yang dibuka hanya di daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona hijau. Selain itu, masjid yang dibuka juga diterapkan aturan main protokol kesehatan yang harus dijalani. Menurut saya pribadi, lebih baik tidak usah berjamaah kalau harus ribet dengan aturan-aturan. Tapi ya sudah, ini demi kepentingan dan kemaslahatan bersama dalam masa new normal di mana perekonomian lebih diutamakan ketimbang nyawa manusia.
Berikut ini adalah beberapa aturan main atau protokol kesehatan yang wajib dipatuhi oleh pengurus rumah ibadah, yang saya dapat dari akun media sosial Humas Kota Bekasi. Pertama, tempat ibadah dibersihkan terlebih dulu dengan disinfektan secara berkala. Kedua, pengurus rumah ibadah menyampaikan pemberitahuan pelaksanaan ibadah kepada Walikota Bekasi. Ketiga, pengurus rumah ibadah menyediakan hand sanitizer dan pengukur suhu tubuh elektrik.
Keempat, setiap jamaah wajib memakai masker, membawa peralatan ibadah (sajadah, misalnya) masing-masing, dan memperhatikan physical/social distancing dengan menjaga jarak 1,2 meter antarjamaah. Kelima, khutbah/ceramah (dilakukan) sesingkat mungkin, maksimal 15 menit. Keenam, setiap jamaah tidak melakukan kontak langsung dengan sesama jamaah (seperti bersalaman dan berpelukan), dan segera membubarkan diri setelah melaksanakan ibadah berjamaah.
Ribet kan? Hahahahahaa.
Dari keenam aturan protokol kesehatan itu, saya paling setuju sekali dengan poin kelima. Ke depan, kita (umat Islam) tidak akan lagi mendengar khutbah Jumat yang sangat membosankan sampai bikin ngantuk dan tertidur saat khutbah berlangsung. Dipersingkatnya waktu khutbah, saya yakin, membuat para khatib Jumat juga meringkas materi khutbahnya. Sehingga, para jamaah akan mendengar khutbah yang lebih substansif.
Lebih jauh, saya optimis, panggung Jumatan tidak lagi digunakan sebagai corong untuk menyebarkan kabar kebencian terhadap agama atau kelompok keagamaan yang tidak sejalan-sepemikiran. Selain itu, saya juga optimis bahwa khutbah Jumat ke depan tidak akan ada lagi kebencian terhadap pemerintahan yang sah. Kalaupun khutbah kebencian ada, kita tidak akan lama mendengarnya karena maksimal 15 menit. (Dan) kalau khutbah Jumat berlangsung lama, kita berhak untuk melapor ke pihak yang berwenang agar kemudian ditindak tegas.
Bahkan saya bisa menduga, tema-tema khutbah yang akan dibawakan khatib di atas mimbar, selama masa pandemi new normal ini cenderung tema-tema yang lebih ke dalam (introspeksi diri), anjuran berbuat baik atau bersedekah kepada yang lebih membutuhkan, menjaga solidaritas antarwarga-bangsa, gotong-royong membersihkan lingkungan, dan hal-hal positif lainnya yang tentu saja tidak ada sama sekali unsur kebencian di dalamnya.
Sebab saya masih mengamini, bahwa peran khatib di atas mimbar itu masih sangat berpengaruh dalam membangun pola pikir umat. Oleh karenanya, saya menyayangkan, jika di masa-masa sulit seperti ini ada tema khutbah yang menyesatkan, seperti menyudutkan atau mendiskreditkan orang/kelompok lain (bahasa lainnya: ghibah atau bahkan fitnah). Semoga saja tidak demikian. Di masa yang sangat 'panas' seperti ini, umat Islam (dan termasuk juga saya) sangat butuh siraman rohani yang sejuk untuk kemudian menjadi energi positif dalam menjalani kehidupan.
Harapan saya, khutbah-khutbah yang menyejukkan dan menenteramkan selama pandemi (sebagaimana yang saya duga tadi), akan menjadi sebuah kehidupan baru yang disebut new normal. Sebuah kenormalan baru sehingga akan berlanjut dalam jangka waktu yang sangat panjang sekalipun virus mematikan ini sudah berhasil dikalahkan. Artinya, khutbah Jumat yang sejuk ini menjadi sebuah kebiasaan dan kemudian menjadi aneh (atau bahkan keliru) jika khutbah dengan tema yang sejuk itu tidak disampaikan.
Saya pun berharap yang sama, kepada para pengkhotbah nonmuslim di rumah ibadahnya. Haruslah tema-tema yang positif, menyejukkan, menenteramkan, dan merekat-satukan anak bangsa yang harus disampaikan kepada umat. Hal ini demi memperkokoh persatuan dan kesatuan yang tidak hanya sebatas jasmani tetapi juga rohani.
Mari kita bersatu dalam sebuah pengharapan dan doa yang sama. [Bersambung]
Wallahua'lam...
0 komentar: