Ilustrasi. Sumber gambar: anotasi.com |
Saya resah dengan beberapa (sebagian) kawan-kawan yang sedang berjuang menyetarakan derajat antara laki-laki dan perempuan. Mereka, dalam narasi dan wacana, kerap menyalahkan laki-laki sekaligus menyudutkannya sebagai satu-satunya pelaku penindasan. Para feminis itu, terutama yang berada di lingkaran terdekat saya, terus-menerus menggaungkan soal kesetaraan. Tapi di satu momentum yang lain, saya sering mendengar kalimat manja yang cukup menyebalkan. Seperti ini: "...tapi elu kan cowok, Bang. Gue kan cewek."
Saya justru bingung, apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan (sebagian) kalangan feminis itu? Bahkan, saya pernah berkelakar bahwa sebagian feminis ini tak ubahnya ormas Islam yang radikal itu. Keras kepala, egois, mau menang sendiri, selalu menyalahkan laki-laki, dan terus-menerus meminta permakluman. Sebenarnya, feminis ini sedang berjuang untuk menyetarakan hak, harkat, dan martabat perempuan dengan laki-laki, atau justru sedang ingin menyaingi dan menandingi laki-laki?
Sejujurnya, saya sudah lama mencari tulisan Gus Dur yang berbicara soal keadilan gender atau feminisme. Sulit sekali. Gus Dur hampir tidak pernah menulis artikel tentang kesetaraan gender. Namun akhirnya, dalam sebuah diskusi, yang saya saksikan di Gusdurian TV Channel, seorang dosen UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Zainul Hamdi (Inung), mengatakan bahwa Gus Dur pernah membuat tulisan khusus tentang keadilan gender. Judulnya: 'Hak Asasi Wanita dalam Islam'.
Biasanya, tulisan-tulisan Gus Dur itu, sebagaimana misalnya tentang Pribumisasi Islam, pasti merupakan ekstrak atau gabungan dari beberapa tulisan. Tetapi berbeda sama sekali dengan tulisannya tentang keadilan gender tersebut yang murni merupakan opini atau pemikiran yang lahir dari pengalaman pribadinya.
Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menggunakan istilah wanita. Dia tidak mempermasalahkan sama sekali penggunaan istilah wanita atau perempuan. Di sepanjang tulisannya, Gus Dur menggunakan istilah wanita. Dari tulisan yang dibuatnya itu, ada dua cerita yang luar biasa. Kemudian, Gus Dur mengatakan, di dalam tulisan itu, bahwa dirinya kehilangan respect atau berkurang simpati terhadap gerakan feminisme di Indonesia.
Begini ceritanya...
Gus Dur bersahabat baik dengan seorang perempuan bernama Julia Surya Kusuma. Perempuan ini disebut langsung oleh Gus Dur secara terang-terangan di artikel itu. Gus Dur dan Julia bersahabat baik, bahkan dengan suami Julia yang pertama. Suami Julia itu adalah kawan Gus Dur semasa duduk si Sekolah Dasar (SD). Mereka bertiga ini bersahabat, biasa berbincang.
Suatu hari, Gus Dur melontarkan joke (lawakan) tentang Marilyn Monroe dengan Albert Einstein--sebuah lawakan yang sebenarnya sudah sangat terkenal. Satu ketika, Monroe menawarkan dirinya untuk menikah dengan Einstein. Monroe berharap saat dia menikah dengan Einstein, kelak akan melahirkan keturunan atau anak yang keren. Sebab, dia yakin, wajahnya bisa seperti dirinya, dan otaknya seperti Einstein.
"Ya kalau seperti itu. Tapi kalau sebaliknya, bagaimana? Wajahnya jelek seperti saya dan otaknya seperti anda," kata Einstein kepada Monroe, dalam karangan Gus Dur itu.
Tak disangka, cerita yang seharusnya mengundang gelak tawa ini, justru membuat Julia Surya Kusuma marah sekali. Julia menyemprot Gus Dur dengan amarah yang sangat. Oleh karena kemarahan Julia itu, Gus Dur dengan serius mengatakan, "Lama-kelamaan saya kehilangan simpati terhadap (sebagian) gerakan feminisme di Indonesia."
Pernyataan tersebut ditulis langsung oleh Gus Dur. Sangat eksplisit. Dia menggunakan istilah: kehilangan dan berkurang rasa simpati (terhadap gerakan feminisme di Indonesia). Menurut Gus Dur, Julia Surya Kusuma telah salah paham dalam menanggapi joke tersebut. Padahal sebenarnya, Gus Dur ingin mengatakan bahwa perjuangan kawan-kawan feminis itu berat sekali.
Mengapa berat?
Ditulis oleh Gus Dur, karena sebetulnya masyarakat Indonesia saat ini masih sangat didominasi oleh laki-laki. Kaum lelaki-lah yang memiliki skenario atas kehidupan relasi dengan perempuan. Perempuan tidak cukup punya kemampuan untuk menjadikan laki-laki dalam agenda pembicaraannya. Sedangkan pembicaraan laki-laki itu mampu menjadikan perempuan sebagai agendanya.
Sayangnya, kisah itu justru disalahtangkapi oleh Julia Kusuma. Bahkan, dengan sangat berani, dia mengatakan bahwa Gus Dur telah memiliki pandangan bias terhadap perempuan. Julia sangat marah kepada Gus Dur. Kemarahan itulah yang menyebabkan Gus Dur mengatakan, "Lama-lama berkurang simpati saya terhadap gerakan feminisme karena hal-hal seperti ini."
Gus Dur mengatakan lagi seperti ini, dan ditulis di dalam artikel berjudul 'Hak Asasi Wanita dalam Islam' itu.
"Salah satu dari beratnya perjuangan kalangan feminis di Indonesia itu adalah cara yang digunakan oleh kelompok feminis itu sendiri, yang suka marah dan selalu menggunakan pendekatan sok menggurui. Maka kampanye penyadaran terhadap laki-laki justru menghasilkan kontraproduktif, yang membuat laki-laki akan cenderung apatis (tidak mau tahu) karena merasa dimusuhi."
Apakah Gus Dur seorang feminis? Seorang pejuang kesetaraan dan keadilan berbasis gender? Seorang yang sangat memuliakan kaum perempuan? Saya rasa, jawabannya tentu saja iya. Sebab, bagi saya, seorang feminis itu tidak semata-mata ditentukan dari seberapa banyak dia memiliki tulisan-tulisan, tapi juga bisa dicek dari bagaimana perilakunya.
Gus Dur adalah laki-laki satu-satunya di dalam keluarga intinya. Perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya itu adalah perempuan-perempuan yang terberdayakan. Lalu, tak jarang, Gus Dur ini bisa dengan mudah dicap sebagai orang yang memiliki bias terhadap perempuan: sebagaimana yang diungkapkan oleh Julia Surya Kusuma pada kisah yang ditulis Gus Dur dalam artikelnya itu.
Dalam buku yang diedit oleh Linda J Nicholson yang berjudul Feminism/Postmodernism, terdapat dua perspektif untuk bisa memandang isu ini. Ada sebuah kecenderungan bahwa kawan-kawan feminis selalu terjebak dalam epistemologi strukturalisme.
Linda J Nicholson mengatakan bahwa, "Feminisme sejak tahun 1960-1980an itu adalah feminisme yang dibangun di atas epistemologi pencerahan, yang obsesinya adalah mencari satu struktur tunggal yang sangat rigid dan kemudian hendak melihat seluruh realitas yang dijelaskan dengan struktur itu."
Nah pada konteks tadi, kisah yang dialami Gus Dur dengan Julia Surya Kusuma, Gus Dur mengatakan, "Saya sekarang ini adalah orang yang menjadi korban stereotipe."
Kenapa Gus Dur mengatakan seperti itu? Jawabannya adalah karena kawan-kawan feminis selalu menghadapi persoalan dengan melihat bahwa pasti ada struktur yang rigid dan tunggal dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, dan pasti laki-laki yang melakukan penindasan, maka dengan mudah sekali Gus Dur dituduh sebagai pelaku penindasan.
Istri yang Mulia
Kemudian, ada satu cerita lagi yang berusaha untuk mencoba melihat kedua perspektif ini bertemu. Gus Dur di dalam tulisan itu bercerita bahwa suatu ketika dia ditanya oleh seorang feminis muslimah bernama Lily Munir. Sebelum bertanya, Ibu Lily ini bercerita tentang seorang suami yang tampan, kaya-raya karena seorang pengusaha.
Lalu, laki-laki ini digoda oleh seorang perempuan yang cantik dan muda. Akhirnya laki-laki ini luluh. Secara otomatis, si laki-laki yang sudah beristri itu, telah menjalani perselingkuhan dengan seorang perempuan muda. Di ujung cerita, laki-laki dan selingkuhannya ini, tidak jadi menikah. Lalu, si laki-laki tersebut kembali kepada sang istri dan kemudian dengan penuh kesadaran, istrinya menerima dan memberikan maaf.
Kemudian Ibu Lily bertanya kepada Gus Dur: "Gus, menurut anda bagaimana citra diri perempuan (si istri) itu?"
Gus Dur mengatakan, "Dia adalah seorang istri yang mulia karena sanggup memaafkan suaminya."
"Apakah itu tidak menunjukkan kelemahan perempuan? Karena perempuan selalu diminta untuk memiliki kesabaran dan permaafan terhadap laki-laki."
Gus Dur menjawab, "Dia tetap adalah seorang perempuan yang mulia."
Mengapa Gus Dur menjawab demikian? Mari kita bahas.
Gus Dur adalah seorang yang juga menerapkan hal sama. Jika laki-laki atau seorang suami, dihadapkan dengan pasangan (istri) yang selingkuh dan kemudian kembali ke suaminya, maka Gus Dur juga menggunakan standard yang sama. Kata Gus Dur, "Sang suami itu diminta untuk mawas diri. Dialah yang harus mengoreksi dirinya, memberikan permaafan kepada istrinya, dan melanjutkan kehidupan bersama."
Itulah dua kisah yang menunjukkan cara pandang berbeda. Cara pandang pertama, yakni feminisme yang selalu mencari struktur tunggal universal mengatakan bahwa: "Inilah kelemahan perempuan!"
Postfeminisme dan Lesbianisme
Tetapi Gus Dur mencoba untuk membuka segala perspektifnya karena dia ini adalah seorang postfeminisme. Postfeminis adalah sebuah cara pandang atau perspektif, bukan sebuah gerakan. Sudut pandang postfeminisme, yang dilakukan Gus Dur beranggapan bahwa struktur relasi laki-laki dan perempuan itu tidak tunggal. Sehingga, jika ada satu fenomena tertentu tidak bisa hanya dijelaskan: "Ini pasti patriarkis, ini pasti patriarkis!"
Gus Dur sangat bisa mengapresiasi praktik-praktik pemberdayaan perempuan lokal yang itu tidak masuk dalam skema strukturalisme. Sebagai contoh, rata-rata orang melihat hubungan laki-laki dan perempuan itu ada kecenderungan bahwa pasti laki-laki yang menindas atau melakukan penindasan. Tetapi Gus Dur mengatakan bahwa tidak selalu begitu yang terjadi di lapangan.
Lalu jika dilebarkan kasusnya, kita bisa menjadikan lesbianisme sebagai contoh. Lesbianisme menjadi salah satu bagian dari gerakan feminisme karena menganggap bahwa setiap relasi yang dibangun dari laki-laki dan perempuan pasti adalah relasi penindasan. Kemudian, (sebagian) gerakan lesbianisme ini menjadi bagian dari kontranaratif atas relasi laki-laki dan perempuan yang seperti itu (penindasan).
Lalu pertanyaannya adalah: apakah relasi antara perempuan dengan perempuan (lesbianisme/homoseksual) tidak bisa menciptakan penindasan? Jawabannya tentu saja bisa. Kemudian apakah relasi laki-laki dan perempuan (heteroseksual) sudah pasti selalu laki-laki yang menindas? Jawabannya: tidak selalu demikian.
Simpulan
Nah, perspektif yang beragam seperti ini kurang bisa ditangkap oleh gerakan feminisme yang direpresentasikan oleh Julia Surya Kusuma itu. Bahwa dengan mudah sekali, mengatakan Gus Dur sudah memiliki pandangan atau bias terhadap perempuan karena joke Monroe dan Einstein. Hanya karena sebuah joke. Padahal, Gus Dur hendak mengatakan bahwa: "Ini lho sebetulnya realitas kita dan betapa beratnya perjuangan kita."
Perjuangan (gerakan kesetaraan gender) ini pada akhirnya harus menyadarkan laki-laki. Akan tetapi, kalau pendekatan yang dilakukan adalah–meminjam istilah Gus Dur—sok menggurui, maka jangan heran jika laki-laki justru tidak menjadi bagian dari rekanan perjuangan kalangan feminis. Masih beruntung kalau kaum laki-laki apatis terhadap gerakan feminis, tetapi kalau pendekatan yang dilakukan oleh kawan-kawan feminis ini ‘sok menggurui’, jangan heran jika laki-laki justru menjadi bagian dari kelompok yang memusuhi gerakan keadilan berbasis gender ini.
Wallahua'lam...
0 komentar: