Ilustrasi. Sumber gambar: liputan6.com |
Idulfitri adalah soal keramaian. Kita berkeliling kampung, misalnya, bersalam-salaman untuk saling meminta maaf atas khilaf yang selama ini diperbuat; disengaja atau tidak. Biasanya, orang-orang yang lebih tinggi strata sosialnya atau orang yang dituakan di lingkungan masyarakat, akan membuka pintu rumah lebar-lebar agar dikunjungi banyak orang: semacam open house.
Tetapi Idulfitri kali ini sungguh berbeda. Kita seperti diingatkan atau ditegur oleh Allah bahwa Idulfitri hendaknya dirayakan dengan penuh esensi. Tidak berlebih-lebihan. Bahwa sesungguhnya, momen Idulfitri harus disikapi dengan merenungi diri. Bisakah membawa Ramadan ke dalam 11 bulan ke depan? Minimal, membawa rutinitas amalan ibadah ritual yang dijalani selama Ramadan kemarin.
Bagi orang-orang kaya, orang-orang yang secara sosial menduduki tempat terhormat, orang-orang yang berkelebihan harta, momen Idulfitri ini mesti dimanfaatkan untuk merasai perasaan yang sudah sejak dulu (sebelum pandemi) dirasakan oleh orang-orang yang merayakan Idulfitri dengan sepi. Tanpa perayaan apa pun.
Mari kita juga merasakan betapa kesepian di momen Idulfitri itu mendatangi para tenaga medis, yang tentu saja tidak bisa merayakan Idulfitri bersama sanak keluarga. Bahkan tidak bertemu dengan anak-anaknya. Mereka harus berjuang melawan pandemi, meski dalam momen Idulfitri yang biasanya dirayakan dengan meriah; dengan berkumpul bersama keluarga besar.
Atau bagaimana pula rasanya menjadi perantau yang terpaksa tidak mudik karena mematuhi aturan pemerintah? Mereka pasti merasakan sebuah perayaan Idulfitri yang sepi. Secara sangat terpaksa, mereka tidak berlebaran di kampung halaman, tetapi harus merayakan Idulfitri dengan sepi di tempat rantau masing-masing.
Baca juga: Merindukan Ramadan Kembali (Idulfitri Bagian 3)
Baca juga: Merindukan Ramadan Kembali (Idulfitri Bagian 3)
Inilah sebuah esensi perayaan. Idulfitri yang sarat makna. Selebrasi yang membatin. Menusuk kalbu. Menembus dimensi otak. Mengajak kita untuk berpikir, berkontemplasi, merenungi diri. Bahwa sesungguhnya esensi Idulfitri bukanlah soal kumpul-kumpul, pamer harta, hura-hura, dan bersombong-ria sebagaimana yang telah dilakukan pada setiap perayaan Idulfitri sebelum ini.
Pada perayaan Idulfitri kali ini, mungkin saja ada yang sedang menemani orang terkasihnya yang sedang sakit. Kemudian sudah barang tentu ada pula yang merayakan Idulfitri dengan berjuang melawan sakit yang didera. Walau bisa saja dikatakan bahwa kali ini adalah Idulfitri terberat, tetapi mari sama-sama kita gali makna terdalam dari setiap ujian atau cobaan yang diberikan Allah kepada kita semua.
Allah tidak akan memberikan cobaan, rintangan, ujian, dan segala tantangan melebihi dari batas kemampuan kita sebagai manusia. Segala yang diberi oleh-Nya pasti akan dapat kita lewati. Asal dalam proses melewati cobaan itu, kita mampu sabar dan sadar soal bagaimana kemampuan kita menghadapinya.
Idulfitri kali ini, kita merayakan sepi bersama. Tetapi inilah sepi yang ramai. Kita semua, ramai-ramai, merasakan sepi yang sama. Apakah sepi ini adalah rintangan, cobaan, dan ujian? Bagi saya, tidak juga. Sepi adalah teman bagi keindahan. Kita bisa meratapi apa saja dalam sepi. Di dalam sepi, kita bisa melihat keramaian. Pada sepi, kita bisa bersiap-diri untuk kemudian menyatu dengan ramai.
Hal yang terpenting dalam perayaan kesepian ini adalah kita mampu saling menguatkan. Menghadirkan cahaya bagi setiap kegelapan yang dirasakan oleh orang lain. Bukan justru mengutuk kegelapan lantaran kita tidak punya keahlian untuk menghadir-hidupkan cahaya. Ada banyak yang bisa kita perbuat untuk menyembuhkan luka bersama ini. Minimal dengan doa yang terus-menerus dilafalkan untuk mampu menembus bahkan mendobrak pintu langit.
Baca juga: Memaknai Kembali Puasa Kita (Idulfitri Bagian 2)
Baca juga: Memaknai Kembali Puasa Kita (Idulfitri Bagian 2)
Sekali lagi, ini adalah perayaan sepi bersama. Perayaan sepi yang ramai. Perayaan sepi yang dirasakan oleh banyak orang. Tidak hanya kita sendiri. Maka, mari kita saling menguatkan. Mari kita saling memberi arti bagi hidup dan kehidupan. Sepi adalah teman setia bagi setiap proses yang akan dijalani kemudian hari. Tidak perlu bersedih hanya karena melewati Idulfitri dengan sepi, karena kita semua merasakan hal yang sama. Ini sepi yang ramai.
Teman-teman pembaca yang terkasih, saya pun merasakan pula kesepian itu. Usai menjalani salat Id di musala, pada 1 Syawal lalu, saya langsung pulang ke rumah. Biasanya di gang rumah saya, orang-orang sudah berkumpul, saling bersalaman, memohon maaf, dan anak-anak saling berlarian membawa tas atau dompet kecil untuk menaruh uang pemberian dari para tetua.
Tetapi, saat saya sedang berasyik-masyuk bercanda dengan keluarga di dalam rumah, usai salat Id di musala, satu-persatu orang-orang mendatangi rumah kami, tapi tidak masuk. Hanya di luar gerbang, berjarak sekira tiga meter, kemudian menyatukan kedua telapak tangan seraya mengucap: mohon maaf lahir batin. Demikian seterusnya rumah kami didatangi orang-orang tapi tetap tidak ramai dan saling menjaga jarak.
Ini pengalaman baru. Tentu saja bagi semua; siapa saja. Mendatangi rumah orang, tetapi tidak bermaksud bertamu. Hanya dari luar saja, berjarak yang cukup jauh, lalu memohon diberikan maaf. Awalnya, saya merasakan ada yang janggal dan kurang. Namun, inilah sesungguhnya esensi Idulfitri. Tidak banyak orang dalam keramaian yang berkerumun, tetapi tetap saling memberikan maaf walau tidak ada anggota tubuh yang saling bersentuhan.
Baca juga: Kembali ke Fitrah Kemanusiaan (Idulfitri Bagian 1)
Baca juga: Kembali ke Fitrah Kemanusiaan (Idulfitri Bagian 1)
Dan yang paling berkesan pada perayaan Idulfitri ini, di langit dekat rumah saya, ada pemandangan pelangi selama dua hari berturut-turut. Pelangi itu dinikmati oleh semua orang karena sangat jelas terlihat. Lalu, diabadikan melalui kamera handphone, dan kemudian dibagikan di media sosial agar orang lain juga dapat menikmati keindahan pelangi itu. Maka, bagi saya, fenomena pelangi adalah sebuah pertanda bahwa sebentar lagi, akan ada keindahan dalam hidup kita bersama. Yakni, kita akan melewati fase sepi ini dengan gembira.
Apakah kesepian ini akan bisa kita lalui dengan waktu yang tidak lama lagi? Akankah kesepian ini akan berbuah pada keindahan yang juga akan dinikmati bersama dan beramai-ramai? Lalu apa yang harus kita lakukan saat kesepian ini pergi dan berganti pada keindahan yang akan kita rasakan bersama? Mungkinkah kita justru akan bersedih saat pandemi pergi, saat kesepian pergi, saat ramai kembali datang; sebuah momen di mana orang-orang mengira cahaya telah datang tetapi justru kegelapan yang menghampiri? [Bersambung]
Wallahua'lam...
0 komentar: