Jumat pagi, 26 Juni 2020 lalu, saat saya sedang berada di kamar, saya mendengar ibu bercerita dengan seorang temannya; di ruang TV yang jika saya membuka pintu kamar, maka ruang itu akan terlihat. Suara cerita ibu itu sangat mengharukan sekali.
Kata ibu, Juni tahun ini penuh dengan kejutan dan drama. Di awal-awal Juni kemarin, keluarga kami diberi cobaan yang sangat berat. Bersyukur, cobaan itu bisa dilewati juga. Sebab, kata ibu, kami sekeluarga paham, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Karunia atau anugerah itu datang, saat kelahiran Alenaya Cahaya Aksara, pada 13 Juni 2020. Sepekan setelah saya berulang tahun dan kepulangan bapak dari rumahsakit usai melakukan operasi prostat, 6 Juni 2020. Naya, panggilan si jabang bayi itu, adalah cucu pertama orangtua saya, anak pertama abang saya (Ale Nisfu Syawaluddin Tsani bersama Dwi Niar Damayanti), dan keponakan pertama saya.
Baca juga: Awal Juni yang Memilukan
Kelahiran Naya disambut sukacita oleh seluruh anggota keluarga kami. Dia yang ditunggu-tunggu untuk segera menjadi pembeda, menjadi pemersatu, dan menjadi mediator kebahagiaan di keluarga kami. Naya adalah harapan perubahan di masa depan, baik bagi keluarganya, lingkungan sekitar, juga untuk peradaban dalam skala yang lebih luas.
Setiap pagi, saya menyaksikan ibu (yang sekarang jadi nenek atau Mbah Uti—panggilan dalam tradisi Jawa), menjemur Naya dan kemudian memandikannya. Inilah aktivitas baru, yang walaupun melelahkan, tetapi sungguh menyenangkan. Ibu, tentu saja bahagia, karena Naya adalah cucu pertama. Saya pun turut bahagia karena seumur hidup, baru kali ini saya merasakan betapa bahagianya punya adik bayi di dalam rumah.
Ya, saya anak bontot. Tidak punya adik. Maka wajar, kalau Naya menjadi 'pelampiasan' atas kerinduan terhadap ketiadaan selama ini. Singkatnya, Naya merupakan kebahagiaan bagi keluarga kami. Bahagia yang bukan hanya sebatas bahagia semata, tetapi entah—tak terdefinisi. Namun, wujud kebahagiaan itu nyata-nyata ada pada bapak, yang kemudian sembuh dari penyakitnya.
Berkat kehadiran Naya pula, saya jadi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi yang sudah 2 tahun terhenti, dan sudah 6 tahun saya berstatus sebagai mahasiswa. Naya—sebagaimana namanya juga (Cahaya)—menjadi penerang atas kebuntuan saya selama ini mengerjakan skripsi. Betul saja, tanggal 24 Juni, akhirnya saya sidang skripsi juga dan berhasil mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
Baca juga: Sebuah Catatan: Perjalanan Mempertahankan Idealisme
Baca juga: Sebuah Catatan: Perjalanan Mempertahankan Idealisme
Di akhir Juni ini, semua cobaan itu sudah terlewati. Mungkin saja, di depan, akan ada cobaan-cobaan serupa yang lebih mengagetkan atau bahkan menakutkan. Tetapi, semoga saja mental kami sekeluarga sudah bisa tahan banting dan kuat menghadapi semuanya. Sebab, seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon maka akan semakin besar embusan angin yang mencoba meruntuhkannya. Begitu pun hidup.
Namun setidaknya, untuk jangka waktu yang hanya sebulan ini, kami sudah berhasil melewati cobaan yang hampir saja membuat drop. Berkat kekuatan doa, dan terutama kelahiran atau kehadiran bayi di rumah, membuat kebahagiaan menjadi topik utama perbincangan hangat di dalam rumah, belakangan ini.
Ke depan, saya tentu menyadari akan ada banyak kerikil-kerikil tajam yang akan mengganggu perjalanan menuju masa depan. Tetapi, yang harus diperhatikan, bukan soal kesadaran tentang bahaya atas kerikil itu, melainkan soal bagaimana strategi melewati kerikil itu. Semua hal di dunia ini, memang harus dihadapi dengan serius dan sepenuh hati.
Kita seperti sedang hidup di belantara hutan, yang tidak pernah tahu ada ancaman dari sisi sebelah mana. Kita hanya diwajibkan untuk selalu waspada dan tentu saja menjaga perilaku agar tidak mengganggu 'yang lain'. Sementara agar kita bisa terus menerabas belantara hutan itu, kita mesti menghadapi segala yang ada di hadapan; tetapi sekali lagi, harus dengan hati-hati dan kewaspadaan yang ekstra.
Begitulah hidup. Kita harus hati-hati terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kita dituntut pula untuk menghadapinya dengan serius dan tidak main-main. Kalau ternyata, di tengah perjalanan, ada hal-hal atau ada orang-orang yang menjadi pengganggu atau penghalang keberhasilan kita, maka kita harus sesegera mungkin menghadapi dan kemudian meninggalkannya.
Selamat tinggal Juni 2020. Terima kasih sudah memberi banyak pelajaran berharga. Selamat datang Juli 2020. Kita lihat, apa yang akan terjadi di bulan depan? Mari kita menjadi peka terhadap segala yang terjadi di sekitar, agar kita mampu memiliki daya dan kuasa untuk menghadapi rintangan yang lebih besar berikutnya. Wallahua'lam...
0 komentar: