Oleh: Rahmat Wahyudin, Lutfi Amsori, dan Fika*
Konsep dasar tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam dirumuskan oleh Prof Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Prof Dr Wan Mohammad Nor Wan Daud dalam buku The ICLIF Leadership Competency Model (LCM) an Islamic Alternatif (Kuala Lumpur): The Intrernational Centre for Leadership in Finance (ICLIF) yang diterbitkan pada 2007. Menurut dua pakar pemikiran Islam itu, kepemimpinan bukanlah semata-mata soal bagaimana mengatur perubahan, tetapi kepemimpinan adalah amanah (trust). Dari konsep amanah inilah, lahir konsep kewajiban dan tanggung jawab.
“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban,” begitu pesan penting Rasulullah. Karena itu, soal kepemimpinan dalam Islam adalah soal agama, amanah, dan pertanggungjawaban kepada Allah. Bukan semata-mata soal kuasa, tahta, harta, dan tanggung jawab kepada sesama manusia. Bisa dikatakan, pemimpin ideal merupakan dambaan setiap insan, meskipun tak mudah menjumpainya.
Al-Qur'an menyebut Nabi Ibrahim 'alahissalam sebagai sosok pemimpin ideal. Hal itu termaktub dalam QS An-Nahl ayat 120-122. Allah berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.
Kepemimpinan Nabi Ibrahim ditegaskan langsung oleh Allah dalam ayat itu dengan menyebutnya sebagai ummah. Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lafadz ummah pada QS An-Nahl ayat 120 itu bermakna pemimpin yang dijadikan teladan dan mengajarkan kebaikan kepada manusia. Kepemimpinan ini menyebabkannya sukses di dunia dan akhirat. Nabi Ibrahim menjadi orang yang terpilih dan ditunjuk Allah kepada jalan kebenaran.
Tiga Kriteria Utama Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim disebut sebagai imam, karena memiliki tiga kriteria utama. Pertama, qânit lillah yang bermakna tunduk kepada Allah. Syekh Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur'an menjelaskan bahwa qânit yang asal katanya qunût berarti luzûmut-tha'ah ma'al khudu' atau senantiasa taat dan tunduk. Dengan kata lain, tidak pernah menyimpang dan membantah titah-Nya. Lebih-lebih sampai meragukan dan mengingkari keberadaan-Nya. Nabi Ibrahim jauh dari sifat skeptis, relativis, gnostis, dan pluralis dalam berkeyakinan kepada Allah. Demikian juga jauh dari sikap culas dan maksiat dari perintah dan larangan-Nya.
Kedua, hanîf yang berarti lurus dalam jalan kebenaran. Makna asal dari hanîf atau hanaf ini, sebagaimana dikemukakan Ar-Raghib, sama dengan janaf yakni mail: berbelok atau menyimpang. Bedanya, hanîf atau hanaf menyimpang dari kesesatan menuju kebenaran, sementara janaf menyimpang dari kebenaran menuju kesesatan (lihat QS Al-Baqarah: 182). Pengertian hanîf ini diperkuat dengan penegasan Allah dalam ayat itu yakni wa lam yakun minal musyrikin yang artinya tidak pernah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Karena itu, dengan tegas Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud hanîf adalah menyimpang dari syirik menuju tauhid.
Hanif adalah kejujuran dan keterusterangan untuk hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan mengakui Ad-Dinul Islam sebagai jalan kebenaran, meski harus berbeda dan berselisih dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama (QS Al-Mumtahanah: 4). Tujuh ayat yang menyatakan hanîf dalam Al-Qur'an selalu disertai dengan pernyataan muslim dan tidak termasuk golongan musyrik (Lihat QS Al-Baqarah: 135, Ali ‘Imran: 67 dan 95, Al-An’am: 79 dan 161, An-Nahl: 120 dan 123).
Ketiga, syukur. Maksud kata ini, sebagaimana dijelaskan Ar-Raghib adalah mengakui nikmat dan memperlihatkannya. Mengakui nikmat adalah dengan hati, sementara memperlihatkannya melalui lisan dan amal perbuatan. Nabi Ibrahim seorang yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah. Hatinya senantiasa mengakui keagungan-Nya, lisannya tidak pernah kering dari pengakuan akan nikmat-nikmat-Nya, dan amalnya tidak pernah menyimpang dari tuntunan-Nya.
Sosok pemimpin seperti Nabi Ibrahim jelas jauh dari sifat zalim, korup, dan permusuhan. Nikmat berupa sumber daya alam yang melimpah pasti akan dipergunakan sebagaimana peruntukannya, bukan malah dijadikan lahan korupsi. Nikmat jabatan juga tidak digunakan untuk memperkaya diri dengan melupakan rakyatnya, tetapi akan digunakan untuk mengabdi dengan penuh amanah.
Ketiga kriteria di atas menggambarkan sosok pemimpin yang berkarakter kuat yakni lurus dalam akidah serta mantap dalam ibadah dan akhlak.
Ujian berat
Pemimpin lahir dari proses ujian yang berat. Allah menegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 124 bahwa Nabi Ibrahim dijadikan pemimpin karena telah berhasil melalui proses ujian yang berat. Kalaupun Nabi Ibrahim meminta agar keturunannya juga dijadikan para pemimpin, Allah tetap menegaskan bahwa mereka harus berhasil melewati ujian-ujian terlebih dulu dengan tidak gagal (baca: zalim). “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.
Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan, Allah telah menguji Nabi Ibrahim dengan thahârah: lima di kepala dan lima di badan. Di kepala yaitu mencukur kumis, berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, menggosok gigi, dan bersisir rambut. Di badan berupa memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci bekas buang air dengan air (Tafsir Ibnu Katsir). Meski demikian, menurut para ulama tafsir, tidak berarti bahwa ujian Nabi Ibrahim itu hanya thahârah saja, ini hanya sebagian ujiannya saja. Para ulama tafsir umumnya menafsirkan kalimât yang merupakan bentuk ujian dalam QS Al-Baqarah ayat 124 itu dengan ‘semua perrintah dan larangan’.
Jika merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim, Allah telah menguji dengan berbagai ujian yang berat. Pertama, berkorban dengan diri sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai harus menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup (QS Al-Anbiya: 51-69). Kedua, berkorban dengan keluarga ketika harus meninggalkan anak istrinya di Bakkah (QS Ibrahim: 37). Ketiga, berkorban dengan anak ketika harus menyembelih Isma’il (QS As-Shaffat: 102-107). Keempat, berkorban dengan harta dan tenaga ketika harus membangun Masjidil Haram (QS Al-Baqarah: 125-127).
Keyakinan
Hanya sedikit yang mampu lulus dari ujian-ujian seperti yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim. Jika dirumuskan dengan singkat, ciri kepemimpinan Nabi Ibrahim itu dibangun dengan konsep dasar yang kuat, yaitu keimanan yang kokoh dan semangat pengorbanan yang tinggi. Keimanan yang kokoh mampu mengantarkan Nabi Ibrahim ke tingkat pengorbanan yang agung. Demi idealisme, menegakkan Tauhid, Nabi Ibrahim rela diaci-maki kaumnya sendiri. Ia ikhlas berhadapan dengan keluarganya sendiri dan tak surut langkah saat raja dan kaumnya mengusirnya. Demi keyakinan, Nabi Ibrahim berani melangkah ke dalam kobaran api.
Karena itulah, keyakinan (conviction) akan kebenaran dan ketinggian cita-cita wajib dimiliki seorang pemimpin. Sebab, hanya dengan keyakinan, seorang mampu meraih cita-cita besar. Penyair legendaris Pakistan, Dr Mohammad Iqbal menulis dalam puisinya Bal-e-Jibril yang berisi tentang bahaya pendidikan barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.
Hilangnya keyakinan dari diri seorang manusia, kata Iqbal, adalah lebih buruk dari perbudakan. Keyakinanlah yang telah menjadikan seorang Ibrahim dengan tenang memasuki kobaran api. Keyakinanlah yang memungkinkan seorang mampu mencapai derajat yang tinggi berupa pengorbanan diri. Iqbal mengingatkan: Wahai Anda, yang telah jadi korban peradaban modern! Ingatlah, hilang keyakinan lebih buruk dari perbudakan!
“Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.” (Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964).
Kesimpulan
Berbagai perilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia saat ini adalah akibat dari kelemahan orang-orang shaleh. Praktik-praktik buruk seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai ketidakadilan dalam pemerintahan yang dilakukan orang-orang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang shaleh. Karena itu, orang-orang beriman haruslah memilih orang shaleh yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan NabiIbrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah dan bertanggung jawab juga kepada rakyat.
Untuk memilih pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat rekam jejak kepribadiannya di masa lalunya. Secara vertikal, ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah. Sementara secara horizontal, ia selalu berbuat adil, bijaksana, penuh kasih sayang, dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Karena atas dasar inilah, Nabi Ibrahim dipilih Allah sebagai imam bagi semua manusia.
Hanya dengan kejelian dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shaleh, beriman dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Pencipta, di samping berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya. Negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi dan menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan dan loyalitas kita kepada Allah. Caranya dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang telah diturunkan-Nya, sebagai apa pun kita dan di mana pun posisi kita, baik dalam kehidupan berkeluarga atau bermasyarakat dan berbangsa.
Karenanya, Rasulullah berpesan kepada kita agar selalu bertakwa kepada Allah di mana pun kita berada:
فاتقوا الله يا عبادالله، وصلوا وسلموا على نبيكم كما أمركم الله في محكم كتابه: “إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما”. اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن دعا بدعوته ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفرلنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين .
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه. اللهم ادفع عنا الغلاء والوباء والبلاء والفحشاء والمنكر والبغي والسيوف المختلفة والشدائد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة إنك على كل شيء قدير
*) Tulisan ini disusun sebagai tugas membuat makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi. Seluruh konten adalah tanggung jawab para penulis.
0 komentar: