Tak terasa, Ramadhan sudah berjalan sepuluh hari. Fase rahmah atau kasih sayang Allah, akan berakhir. Selanjutnya berganti menjadi fase maghfirah (ampunan Allah) pada sepuluh hari kedua, dan fase dijauhkannya dari api neraka pada sepuluh hari yang terakhir nanti.
Lalu sudahkah kita melakukan evaluasi diri tentang bagaimana ibadah kita selama sepuluh hari kemarin? Pantaskah kita mendapatkan kasih sayang Allah, ampunan, dan anugerah berupa dijauhkan dari api neraka? Bagaimana jika ibadah kita, ternyata, hanya penuh sungguh pada saat Ramadhan? Kemudian pada bulan-bulan berikutnya, tidak ada peningkatan yang berarti.
Itulah yang harus menjadi evaluasi bagi diri kita, karena kealpaan kita dan kelalaian kita dalam menjalankan keberagamaan pasca-Ramadhan. Padahal di satu sisi, kita sepakat bahwa Ramadhab adalah momen tepat untuk hijrah, berpindah dari keburukan menuju kebaikan; dari kemaksiatan menuju kesalehan; dari kemungkaran menuju ketaatan, sebagaimana inti tujuan puasa yang terdapat dalam QS Al-Baqarah 183-184.
Namun pada kenyataannya, seringkali momen Ramadhan ini menjadi sebatas pengulangan proses yang sama dari tahun ke tahun. Artinya, nyaris tidak ada pertambahan yang signifikan dalam kuantitas dan kualitas ibadah, bahkan soal akhlak dan wawasan keberagamaan.
Grafik peningkatan yang lumayan, hanya bisa dirasakan pada momen Ramadhan hingga tak lama setelah Idulfitri berlalu. Selebihnya, kita kembali menetapi kondisi keberagamaan yang seperti semula, biasa saja. (KH Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Puasa Ramadhan, 2015).
Dari sisi ibadah, misalnya, pada setiap Ramadhan, umat Islam mengalami peningkatan kuantitas jamaah salat di masjid dan musala, meski itu pun hanya terjadi pada awal-awal Ramadhan, sedangkan di akhir bulan nanti pasti tambah surut.
Secara pribadi, kuantitas dan kualitas ibadah tilawah dan tadarus Al-Qur'an juga meningkat. Target satu hari satu juz lebih mudah terlampaui. Pengikut berbagai kajian bertema keislaman pun menjadi ramai, dari yang biasanya harus diseret-seret, tetapi pada bulan Ramadhan justru menjadi sangat rajin dan jamaah datang dari berbagai tempat; tanpa diminta.
Seharusnya pemahaman keberagamaan tentang fikih, akhlak, dan ilmu-ilmu Al-Qur'an serta keislaman meningkat. Berangkat dari hal ini, sudah pernahkah kita menguji sejauh mana diri ini mengalami peningkatan kualitas pemahaman, pelaksanaan ibadah serta sikap beragama, terutama setelah selesai hingga menuju Ramadhan berikutnya?
Kemudian dari segi ibadah, misalnya, sejauh mana kita mempertahankan, bahkan meningkatkan tradisi Ramadhan selepas Idulfitri? Berapa lama kita bertahan dengan ibadah salat malam (qiyamul-lail) dalam satu pekan, di luar Ramadhan? Berapa target membaca Al-Qur'an yang sanggup kita kejar di hari-hari biasa? Berapa kali dalam sepekan, kita menyempatkan diri datang di forum-forum kajian keislaman?
Lalu dari segi fikih, berapa persen dari pemahaman fikih ibadah dan muamalat yang sanggup kita pertahankan dan tingkatkan selepas Ramadhan? Masihkah kita memburu keutamaan ibadah dan muamalah dengan mengambil fikih yang lebih berhati-hati, ataukah kita kembali mengambil 'yang mudahnya saja' karena kembali berhadapan dengan kesibukan yang bersifat duniawi?
Evaluasi yang berikutnya adalah tentang akhlak dan sikap keberagamaan kita. Secara substansi, Ramadhan mengarahkan kita untuk menjadi lebih takwa, meningkatkan kadar kebaikan akhlak dan sikap, memberi semangat untuk memperbaiki akhlak dan sikap keberagamaan.
Ramadhan, selama satu bulan penuh, mengajarkan kita sebagai umat Islam untuk memiliki sikap kedermawanan, toleran, memperpanjang silaturahim, berbuat baik kepada orang tua, dan memuliakan tetangga. Ramadhan secara umum mengajarkan kita lebih lembut dan menyebarkan banyak pesan damai kepada umat.
Lantas saat Ramadhan berlalu, masihkah sikap dan perilaku itu terpelihara, bahkan mendarah daging, dan melekat seutuhnya pada diri kita? Iman memang bisa naik dan turun, tetapi yang paling penting adalah niat dan tindakan untuk meningkatkan atau minimal mempertahankannya.
Jangan sampai terjadi benturan-benturan setelah Ramadhan yang membuat kita kembali stagnan dengan dalih iman yang fluktuatif. Semoga kita termasuk orang-orang yang dengan sepenuh kesadaran memilih menjadi lebih baik kapanpun dan dimanapun, bukan berdalih wajar iman turun karena Ramadhan telah berlalu.
Semoga seluruh ibadah dan aktivitas muamalah kita pada Ramadhan tahun ini yang sudah baik, bisa terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan sesudahnya. Sebab pengujian kadar keberagamaan tidak harus terhenti hanya di bulan Ramadhan, tetapi akan tetap berlangsung seumur hidup.
0 komentar: