|
Sumber: http://muharrikdakwah.com/ |
Bahasan mengenai terminologi Kafir dan Muslim sebenarnya sudah sejak lama menjadi perdebatan, baik dari kalangan ulama atau pun yang mengaku dirinya sebagai ulama, baik dibahas secara substansial maupun hanya sekadar tekstual, atau pun hanya menjadi perdebatan kusir yang tak kunjung menemui hasil. Sebab otak manusia yang berbeda, pikiran pun tak sama, selama itulah segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan hati dan pikiran kita, maka sudah sah dihukumi melenceng dari kebenaran. Maka itu, kebenaran di dunia ini hanya bersifat relatif. Kebenaran absolut yang paling objektif berada pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa.
Muslim adalah kata sifat yang berawal dari kata kerja, yakni Islam. Secara etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab, 'Salima' yang berarti selamat. Dari kata itu terbentuk kata 'Aslama' yang memiliki arti patuh, berserah diri, atau tunduk. Islam berasal dari akar kata bahasa Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Kemudian diserap ke dalam ilmu teologi, Islam berarti sebuah upaya atau perbuatan atau perilaku yang mencerminkan kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan kepada Allah sehingga menghasilkan perasaan yang damai, tenteram, selamat, dsb. Orang yang melakukan hal-hal diatas dinamakan sebagai Muslim (kepada Allah).
Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati. (Q.S. 2:112).
Islam adalah orang-orang yang Salim (memberikan keselamatan, kedamaian, dan ketenteraman) bagi Muslim yang lain dari (bahaya) lisan dan tangannya. (Al-Hadits).
Agama yang paling mulia di sisi Allah adalah Islam. (Q.S. 3:19).
Rasyid Rida menafsirkan Surat Ali Imran ayat 19 dengan kalimat yang berbeda. Menurutnya, agama yang mulia di sisi Allah bukan dimaksudkan semata-mata agama yang terinstitusi atau terlembaga, karena Islam bukan sebuah lembaga. Tetapi agama yang mulia dan diridhai di sisi Allah adalah agama yang mampu memberikan keselamatan bagi sesama dan semesta.
Sementara Kafir, memiliki akar kata K-F-R yang berasal dari kata Kufur yang berarti menutup. Pada zaman sebelum Islam, kafir dipakai untuk sebutan bagi para petani di ladang, karena pekerjaannya yang menebar benih tanaman di ladang kemudian menutupnya kembali dengan tanah. Maka, kafir atau bisa diartikan sebagai perbuatan menutup diri atau bersembunyi. Kata tersebut kemudian diserap ke dalam ilmu teologi Islam, maka kafir berarti perbuatan ingkar terhadap risalah Islam, ingkar terhadap konsep ketuhanan Islam, dan lain sebagainya. Perbuatan menutup diri dan bersembunyi atau ingkar terhadap sesuatu (apa pun itu) bisa saja disebut sebagai kafir; sebuah kata yang tidak hanya diartikan sebagai pengingkaran terhadap konsep Tuhan atau Agama tertentu, tetapi juga bisa dimaknai secara luas. Bahkan, seorang Muslim juga dapat dinobatkan sebagai kafir apabila menutup diri atau mengingkari nikmat yang telah Allah berikan. Jadi Kafir dan Muslim, siapa mereka?
Setelah mengetahui makna dari kedua terma tersebut, kita dapat memaknainya secara luas, sehingga tidak terpaku pada konsep yang sudah baku. Kafir tidak diidentikkan pada konsep agama A yang tidak mengikuti konsep agama B, dan Muslim tidak hanya diidentikkan pada seseorang yang memeluk Islam (secara institusi). Kafir dan Muslim dalam kehidupan sosial seringkali terjadi tanpa kita sadari. Maka itu, Kafir dan Muslim harus diikuti oleh penjelasan berikutnya. Tidak sekadar Muslim (titik) atau Kafir (titik).
Seorang Kristiani misalnya, ia Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada Allah melalui Yesus dan Roh Kudus (Trinitas), tetapi mereka kafir (mengingkari) terhadap Allah melalui jalur Muhammad, atau terhadap konsep ketuhanan Islam, yakni Tauhid. Begitu pun sebaliknya, Seorang yang beragama Islam, ia Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada Allah melalui risalah yang dibawa Muhammad, tetapi mereka kafir terhadap Ketuhanan Yesus yang diyakini sebagai kebenaran oleh umat Kristiani.
Pada pilpres 2014, pendukung Jokowi adalah Muslim (patuh, pasrah, dan berserah) kepada segala hal yang diberitakan oleh MetroTV, sementara mereka kafir (mengingkari) segala pemberitaan yang ada di TVOne. Pun sebaliknya, pendukung Prabowo kafir terhadap MetroTV dan mereka Muslim kepada TVOne. Sampai sekarang, saya menduga bahwa pendukung Prabowo (baca: Jonru) masih kafir terhadap semua kebijakan Jokowi, dan bahkan mengingkari semua hal yang berkaitan dengan Jokowi. Kalau Jokowi baik, itu pencitraan, kalau buruk ya memang buruk, harus dikritik.
Anda yang membaca tulisan ini kemudian tidak sepakat dan mengingkari ide dan gagasan saya, berarti telah kafir kepada saya dan Muslim terhadap diri dan pikiran sendiri. Tapi, Kafir dan Muslim yang dikonotasikan sebagai pengingkaran dan kepatuhan di kehidupan sosial tidak sama dengan makna sesungguhnya (denotatif). Sebab menurut Roland Barthes, sebuah kata pasti memiliki makna konotatif dan denotatif. Makna sesungguhnya hanya diketahui oleh si empunya sesuatu, sementara makna konotatif akan berkembang sebanyak buah pikir manusia yang juga terus mengalami peningkatan.
Begitu pun, makna denotatif Muslim dan Kafir. Keduanya hanya Si Empunya yang mengetahui dan yang berhak memberikan kepada siapa pun yang diberikan. Saya, misalnya, hanya terus berusaha patuh dan pasrah terhadap segala ketetapan dan ketentuan dari Allah, dan berusaha mengingkari segala yang tidak berkaitan dengan-Nya. Selanjutnya, saya serahkan kepada Allah, saya ini Muslim atau Kafir? Hanya Dia yang tahu.
Jadi, sudah tahu kan sekarang? Anda Muslim kepada siapa dan Kafir kepada siapa? Jangan sampai Muslim kepada hal-hal yang buruk dan Kafir kepada hal-hal yang baik. Kita harus Muslim kepada kedua orangtua dan Kafir kepada Iblis. Betul? Benar dan salah, saya kembalikan kepada cerdik pandai sekalian untuk memberi penilaian yang serelatif-relatifnya.
Wallahu A'lam.
Bekasi, 20 Juli 2016/15 Syawal 1437