Sumber: http://tomtunguz.com/ |
Di dalam kehidupan modern ini, kita seringkali terjebak pada pemaknaan sebuah kata yang justru menyumbat saluran intelektual, sehingga membuat aliran pemikiran menjadi beku, kaku, dan bahkan baku. Sebuah pemaknaan terhadap kata, tidaklah salah bagi siapa pun yang memaknai berdasarkan pada intensitas dan kualitas pengalaman pengetahuan terhadap kata yang akan dimaknai. Maka, sangat disayangkan ketika ada seseorang yang membuat klaim bahwa hanya dirinya yang memegang pemaknaan paling benar, padahal belum tentu pengalaman pengetahuannya sama dengan pengalaman pengetahuan orang lain yang pemaknaannya dianggap salah.
Maka itu, atas pengalaman pengetahuan yang sudah dilakukan selama ini, saya akan memaknai sebuah kata yang selama ini menjadi perdebatan sengit di kalangan akar rumput. Sengitnya perdebatan itu disebabkan karena pengalamannya terhadap pemaknaan yang sampai pada telinga dan pemahamannya berbeda-beda. Juga ada banyak opinion leader yang bertugas memberikan pemahaman di lingkungannya masing-masing dengan pemaknaan dan pemahaman yang beragam.
Adalah kata Awliya', Amir, dan Rais; ketiganya dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai sebuah gaya kepemimpinan atau pemimpin itu sendiri. Ada pula yang memaknainya sebagai seorang pemimpin agama karena ketiga kata tersebut mengasosiasikan kepada sebuah bahasa yang identik dengan agama tertentu. Selain itu, tak jarang, pembahasan mengenai hal tersebut menjadi bahan diskusi dalam kajian keagamaan yang berafiliasi pada kepentingan politik untuk tegaknya sebuah kepemimpinan agama tertentu secara menyeluruh. Tentu beragam. Setiap orang memiliki pemaknaannya sendiri, tidak bisa menuding kesalahan orang lain dan menganggap kebenaran hanya ada pada diri sendiri.
Ada banyak ayat tentang Awliya' di dalam al-Quran, namun saya hanya mmemakai satu ayat untuk menjadi bahasan dalam tulisan kali ini, yakni ayat yang oleh sebagian besar umat Islam kata Awliya' dimaknai sebagai pemimpin. Sehingga ada larangan untuk memilih Awliya' dari golongan kafir dan musyrik. Kalau dibaca secara tekstual, memang seperti itu, terlebih ketika kita membaca makna yang diberikan oleh Kementrian Agama di dalam al-Quran terjemahan yang bisa didapat di gramedia atau toko buku kesayangan Anda. Karenanya, saya tidak menyatakan kesalahan atas pemaknaan kata Awliya' yang menegaskan arti bahwa Awliya' adalah pemimpin. Silakan maknai berdasar pengalaman pengetahuan Anda agar saluran intelektual tidak tersumbat dan aliran pemikiran menjadi kaku, beku, bahkan baku.
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi awliya' dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Awliya' (أَوْلِيَاءَ) memiliki kesamaan makna (sinonim) dengan walijah (وَلِيجةُ) yakni: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat”. Awliya' dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan. Kita tentu sering mendengar istilah waliyullah yang bisa dimaknai sebagai orang terdekatnya (kekasih) Allah, yang mencintai Allah dengan kelebihan-kelebihan tertentu (tidak sama dengan kebanyakan orang), dan Allah pun mengasihi atau mencintai para wali-Nya dengan sangat istimewa. Maka, Awliya' juga bisa diartikan sebagai orang-orang khusus yang kedekatan dan kecintaannya kepada Allah melebihi kadar kedekatan dan kecintaan kebanyakan orang (al-awwam).
Ibnu Abbas r.a. menjelaskan makna ayat ini: “Allah melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
Di dalam ayat tersebut, menurut hemat saya, Allah tidak melarang sama sekali umat Islam untuk menjadikan golongan kafir sebagai orang terdekat atau kepercayaannya. Artinya, kita boleh memiliki hubungan khusus dengan golongan kafir asalkan memiliki siasat atau strategi khusus untuk menjaga (ketakwaan) diri dari sesuatu yang tidak kita inginkan dari mereka. Silakan lihat "Kafir & Muslim, siapa mereka?". Lantas bagaimana mungkin kita menjadikan kafir (pendusta) sebagai orang teristimewa sementara kita tidak memiliki siasat dan strategi untuk menjaga diri dari pengaruh mereka? Maka, memilih Awliya' (orang terdekat, teristimewa, kepercayaan) dari golongan kafir dilarang oleh Allah kalau kita tidak memiliki bekal yang memadai. Sebaliknya, kalau kita punya bekal, maka silakan berteman baik dan akrab terhadap mereka.
Inilah keutamaan Islam, yakni menjadi ummatan wasathan (moderat, ummat pertengahan, penengah), sebuah anjuran yang sangat menjadi sorotan utama untuk mencapai kualitas keberimanan dan ketakwaan diri. Ayat di atas menerangkan bahwa menjadikan orang-orang dari golongan kafir sebagai orang kepercayaan kita tidak sama sekali menjadi masalah, asalkan, mempunyai bekal strategi dan siasat untuk menjaga diri. Kalau tidak punya bekal itu, lebih baik memilih Awliya' atau orang terdekat (yang dipercaya, istimewa, akrab, dsb) dari golongan orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (mu'min).
Simpulannya adalah bahwa Awliya' bukan bermakna sebagai pemimpin yang berafiliasi pada kepentingan politik suatu negara, atau bahkan kepemimpinan secara menyeluruh (Al-khilafah Islamiyyah) yang diperjuangkan oleh gerombolan Hizbut Tahrir yang anti terhadap konsep negara-bangsa yang memiliki landasan demokrasi, karena Awliya' bermakna sebagai orang terdekat yang memilik keistimewaan tertentu sehingga kita dapat menaruh kepercayaan kepadanya.
Untuk penjelasan mengenai makna Amir dan Rais, tunggu tulisan saya selanjutnya, ya. Setelahnya kita akan menemukan bentuk pemaknaan yang berbeda antara Awliya', Amir, dan Rais.
Wallahu A'lam...
Bekasi, 23 Juli 2016/18 Syawal 1437