Dalam lamunanku dinihari
aku tetap merindumu meski tak berarti
keluh peluh bercucur deras meniti
menjadi mimpi yang tersimpan
esok hari
atau nanti
sampai semesta beri makna tentang rindu
tentang bayang semu
tentang pertemuan yang tak bermuara
sebab entah di mana hulu
Kekasih...
malam ini aku tetap menanti
sampai rindu tak lagi hanya menjadi pikir
dzikir
dan buah bibir
oleh perindu yang getir
menahan laju waktu untuk tak ke mana
bertahan
hingga kita manunggal
rekat
dekat
lekat
dekap
tiba pengap
sesak
di pengujung waktu
atau di beranda rindu
esok
atau entah
Engkau perasa tak berperisa
kekasih tiada dua
hanya kau berada di dada
dalam hening
sepi
sunyi
di kegelapan malam
aku mendekapmu dalam mimpi
pada angan yang tak tertahan
bayangmu hadir di sepertiga malam
dalam sujud sepiku
di keheningan malam
hadirmu ada
aku merasa hadirmu
meski tanpa rupa
di kesunyian malam
namamu membasahi bibir
menjadi bahasan para penyair
dalam puisi
pada sajak
juga rima yang serupa doa
Kekasih...
kau tetap ada
meski diri sudah tiada
yakinku kita mengada
di suatu pagi bahagia
atau sore penuh suka
lampiaskan rindu bersama
senandungkan senja
hingga surya terlelap dalam tidurnya
Bahagiaku tak terdefinisi
jika namamu tetap mengisi
hari-hariku penuh arti
walau kau tak jua mengerti
atau pura-pura tak pahami
arti rindu yang hakiki
Kekasih...
sampai ajal menjemputku nanti
aku akan tetap merindumu
meski sedikitpun kau tak memberi
Kekasihku yang semata wayang
rindu ini adalah kasih sayang
untuk kebahagiaan di akhir menjelang
semoga kau riang
air mata tak pernah berlinang
Kekasih...
Masihkah (boleh) aku merindumu?
Bekasi, 7 Agustus 2016/4 Dzulqo'dah 1437