"Demi Allah, saya sepakat soal perlunya kita memurnikan Agama Allah dengan Tauhid dan Jihad," dengan lantang saya ucapkan di depan teman-teman yang juga menginginkan Islam kembali atau minimal berproses menuju kemurnian yang sejati. Pada kesempatan itu, banyak yang terheran-heran dengan pernyataan di atas. Pasalnya, saya adalah orang yang dinilai sebagai pendukung ide-ide Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme; yang ketiganya sudah difatwa 'haram' oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005. Bahkan tak jarang ada yang menganggap saya sebagai penumpang gelap NU karena selalu berbicara tentang ketiga paham tersebut yang diakronimkan menjadi Sepilis; sebutan bagi penyakit yang membahayakan dan menjijikan.
Terlepas dari NU, MUI, atau Sepilis, saya benar-benar sepakat dengan ide atau (barangkali) harapan untuk menawarkan proses pemurnian Agama Allah dengan jalan menegakkan Tauhid dan menerapkan Jihad dalam keseharian. Bagaimana tidak, Agama Allah yang dilahirkan dari rahim kesejatian dan kemurnian yang abadi, kini menjadi kotor oleh ulah manusia yang didaulat sebagai Khalifah di bumi. Saya beranggapan bahwa Agama Allah (Yahudi, Kristen, Islam) sudah banyak ditindih dan diperkosa berbagai kepentingan. Agama Allah yang suci itu digunakan sebagai tameng, menjadi pelindung dari segala kemunafikan dan kedurjanaan diri.
Untuk memurnikan Agama Allah, tentu membutuhkan sebuah proses, Tauhid namanya. Adalah suatu perjalanan dimana seorang hamba benar-benar menomorsatukan Allah dalam keseharian, bukan memprioritaskan berbagai kepentingan duniawi, kepentingan pribadi maupun golongan. Sebab tidak mungkin Agama Allah akan kembali murni ketika sebagian besar umat manusia belum mampu menempatkan Allah di setiap ruang, di setiap jengkal kehidupan, bahkan di setiap kedip mata yang tak terencana. Pikir manusia selalu keduniaan, mengejar kekuasaan, menampilkan kecemerlangan fana, dan bermain intrik dengan membawa simbol Agama Allah di dalamnya. Kata Allah, dunia hanya tempat untuk bersenda gurau. Manusia selalu dipermainkan oleh kepentingan dunia, sementara selalu kehabisan daya ketika harus mempermainkan dunia.
Tauhid tidak akan pernah bisa ditegakkan ketika kita tidak mampu menjalankan fungsi Jihad dengan baik. Jihad berarti bersungguh-sungguh dalam arti mengkombinasikan antara tenaga, akal, dan harta. Ketiganya diperuntukkan agar kemurnian Agama Allah terwujud. Jihad dengan tenaga berarti rela menjadi abdi bagi masyarakat, menjadi manfaat dari setiap perilaku positif demi terciptanya harmoni kemaslahatan yang lebih dialektis. Selain itu, jihad dengan akal berarti memberikan kontribusi dalam bentuk pemikiran yang solutif bagi permasalahan di lingkungan sekitar. Berjihad dengan harta, dengan berderma pada sesama, memberi pertolongan pada sesama sebagai pensucian harta, juga penting dilakukan. Karenanya, untuk mewujudkan Keagamaan yang akan kembali pada kemurniannya, jangan sampai menafikan atau bahkan meniadakan unsur Jihad di dalamnya.
Dewasa ini, dunia perpolitikan di Indonesia seringkali memasukkan unsur agama di dalamnya, tentu dengan beragam tujuan dan kepentingan. Mulai dari tujuan untuk menjaring simpatisan yang lebih banyak lagi, sampai kepada kepentingan untuk membentengi diri, sehingga kekotoran yang terdapat di dalamnya seolah menjadi suci karena melibatkan Agama sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan. Karena itu, untuk memurnikan Agama Allah, jangan sesekali mencampur-baurkan fungsi utamanya sebagai penunjang moralitas dan kepribadian manusia dengan beragam kepentingan yang berbuntut pada ujaran kebencian dan keterpecahan persatuan. Memurnikan Agama Allah berarti membebaskan diri dari keterlibatan keagamaan kita dengan segala sesuatu yang tidak merepresentasikan sifat Allah. Agama sebagai pemersatu, maka tidak mungkin kita terpecah karena agama. Kalau ternyata kita terpecah, percayalah bahwa keterpecahan itu bukan karena agama, tetapi disebabkan oleh pengatasnamaan Agama Allah demi kepentingan, kekuasaan, dan tujuan keduniaan.
Wallahu A'lam.
Bekasi, 21 September 2016
Aru Elgete
Dewasa ini, dunia perpolitikan di Indonesia seringkali memasukkan unsur agama di dalamnya, tentu dengan beragam tujuan dan kepentingan. Mulai dari tujuan untuk menjaring simpatisan yang lebih banyak lagi, sampai kepada kepentingan untuk membentengi diri, sehingga kekotoran yang terdapat di dalamnya seolah menjadi suci karena melibatkan Agama sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan. Karena itu, untuk memurnikan Agama Allah, jangan sesekali mencampur-baurkan fungsi utamanya sebagai penunjang moralitas dan kepribadian manusia dengan beragam kepentingan yang berbuntut pada ujaran kebencian dan keterpecahan persatuan. Memurnikan Agama Allah berarti membebaskan diri dari keterlibatan keagamaan kita dengan segala sesuatu yang tidak merepresentasikan sifat Allah. Agama sebagai pemersatu, maka tidak mungkin kita terpecah karena agama. Kalau ternyata kita terpecah, percayalah bahwa keterpecahan itu bukan karena agama, tetapi disebabkan oleh pengatasnamaan Agama Allah demi kepentingan, kekuasaan, dan tujuan keduniaan.
Wallahu A'lam.
Bekasi, 21 September 2016
Aru Elgete