Sumber: cnnindonesia.com |
Hijrah secara bahasa berarti berpindah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini bisa juga disebut sebagai hijrah jasmaniah. Rasulullah SAW pernah melakukan hijrah dari Mekkah ke Kota Yatsrib (yang kemudian diubah menjadi Madinah Al-Munawarah).
Proses hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad tidak berjalan begitu saja. Beliau mengalami berbagai gejolak sosial, politik, dan keamanan sehingga mengharuskan dirinya beserta para pengikutnya untuk hijrah ke wilayah yang lebih aman.
Orang-orang yang bersama Nabi saat hijrah itu disebut muhajirin atau kelompok orang yang melakukan perpindahan tempat. Setibanya di Yatsrib, beliau disambut hangat oleh kelompok “pribumi” yang disebut Kaum Anshor atau orang-orang yang memberikan pertolongan.
Kaum Anshor ini sangat ramah dan baik kepada rombongan Nabi yang hijrah untuk mendapatkan perlindungan fisik dan mental. Sehingga, berbagai hal diberikan oleh Kaum Anshor untuk Muhajirin secara cuma-cuma, seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, bahkan istri.
Secara istilah, hijrah bermakna sama dengan taubat. Ia lebih bersifat batiniah, atau bisa kita sebut taubat itu adalah hijrah batiniah. Hijrah batiniah inilah yang kemudian diperlukan oleh masyarakat Islam kekinian, agar mampu mengilhami ajaran-ajaran Islam yang sarat akan perdamaian. Baik damai dalam arti fisik, maupun damai dalam makna yang lain.
Dus, hijrah batiniah ini, saya membaginya dalam beberapa hal; tapi setidaknya terdapat tiga kategori utama.
Pertama, Hijrah Emosional. Hijrah ini berarti upaya seseorang untuk mampu memindahkan daya emosi dari yang semula tak terkendali menjadi lebih terkontrol. Proses hijrah ini akan selaras dengan bagaimana kita menempatkan diri di rumah, lingkungan masyarakat, kampus, kantor, dan di mana pun berada.
Selain itu, hijrah emosional juga dapat terbangun dari sikap pendewasaan dan pembelajaran kita terhadap sesuatu. Seiring dengan bertambahnya usia, hijrah emosional pasti akan dapat dirasakan. Sehingga output dari hijrah emosional ini adalah menjadikan pribadi yang bijaksana, penyayang, dan tentu saja tidak mudah marah.
Kedua, Hijrah Intelektual. Sebuah proses perpindahan daya nalar seseorang, dari yang semula tidak bisa menjadi bisa, dari yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, dari yang semula tidak tahu menjadi paham.
Hijrah intelektual ini selaras dengan ajaran Nabi tentang menuntut ilmu. Yakni wajiblah bagi seorang muslim dan muslimah untuk senantiasa menambah pengetahuan. Di riwayat lain, Nabi berpesan agar umat Islam mampu terus-menerus mengembangkan kapasitas intelektualnya, sejak buaian sang ibu hingga ditempatkan ke liang lahat.
Proses hijrah ini berlangsung selama seumur hidup. Penghijrahannya tidak melulu diartikan dalam bentuk formal atau jenjang pendidikan, tetapi juga proses hijrah ini bisa kita rasakan ketika gemar berdiskusi dengan orang lain, bertukar pendapat, berargumentasi, dan membaca.
Ketiga, Hijrah Spiritual. Inilah tingkatan paling tinggi dari proses hijrah seorang muslim. Hijrah spiritual ini merupakan sebuah proses perpindahan keyakinan atas ketauhidan, dari yang semula ragu menjadi semakin kuat dan tak mampu tergoyahkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Dalam hijrah spiritual ini, kita dapat membedah makna dari kalimat tauhid yang seringkali terucap melalui bibir, yakni laa ilaaha illallah. Para ulama tasawuf, membagi makna kalimat tauhid itu menjadi empat tingkatan.
Pertama, laa mathluba illallah. Hijrah spritual yang pertama ini bisa kita maknai sebagai proses agar mampu benar-benar bersaksi bahwa tidak ada hal lain yang dicari kecuali Allah. Orang-orang yang berlumuran dosa dan maksiat yang kemudian ingin melakukan hijrah spiritual, pertama kali haruslah mencari Allah terlebih dulu.
Artinya, kita harus menyadari bahwa hanya Allah yang selama ini kita hilangkan dari kalbu, sehingga seolah-olah Allah tidak bersama kita. Maka, ketika proses pencarian Allah ini sedang kita lakukan, percayalah bahwa sesungguhnya Allah akan mendekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari detak nadi.
Kedua, laa ma’buda illallah. Ketika kita sudah berhasil menemukan Allah kembali, maka segeralah meyakini bahwa hanya Allah yang benar-benar patut dan wajib disembah. Bukan yang lain. Menyembah Allah tidak hanya dalam salat dan ibadah saja, tetapi juga tidak menyekutukan-Nya dengan berbagai perkara keduniaan.
Kita selama ini, tanpa disadari, mengakui diri sebagai hamba Allah, tapi ketika kehilangan benda atau sesuatu yang bersifat duniawi, kita kerapkali mengumpat bahwa Allah telah berbuat tak adil, atau dengan kata lain; kita menyesali Allah. Padahal, Allah seringkali memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur dikala lapang dan sempit. Maka, saat kita ingin melakukan proses hijrah haruslah melewati tahap ini. Bahwa tidak ada sesembahan lain kecuali Allah.
Ketiga, laa maqshuda illallah. Artinya, tidak ada tujuan lain kecuali Allah. Ini yang kerap kali kita lalai dikarenakan berbagai perkara keduniaan. Kita lupa bahwa ada kalimat inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Atau dalam salat kita seringkali berikrar kepada Allah bahwa inna shalatii wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil alamin. Bahwa salat kita, ibadah kita, hidup, dan mati kita adalah ditujukan dan dipasrahkan sepenuhnya untuk Allah.
Namun rupanya, gemerlap kehidupan dunia, seringkali mengaburkan ikrar tersebut. Tak jarang, kita mau melakukan ibadah lantaran terdapat iming-iming materi keduniaan, sehingga tujuan atau pangkalan utama (Allah) menjadi hilang seketika. Nah, jika kita ingin melaksanakan prosesi hijrah, terutama melakukan hijrah spiritual, maka haruslah segera diubah terlebih dulu mindset kita bahwa tidak ada tujuan lain kecuali Allah.
Keempat, laa mawjuda illallah. Artinya, tidak ada yang benar-benar eksis kecuali Allah. Kita, selama ini, mungkin seringkali menganggap bahwa keahlian dan kemampuan kita adalah karena upaya dan usaha kita sendiri, sehingga menafikan peran Allah di dalamnya.
Padahal, eksistensi kita sebagai manusia di dunia merupakan bagian yang sangat paling kecil dari kristalisasi eksistensi Allah. Maka, ketika kita tampil sebagai apa pun, memiliki peran menjadi apa saja, haruslah meyakini bahwa eksistensi kita itu adalah karena terdapat eksistensi Allah.
Dengan demikian, ketika umat Islam sedang berproses melakukan hijrah spiritual dan mencapai tingkatan ini, maka dia akan menjaga tubuhnya dari berbagai perkara buruk. Menjaga tangan dan lisannya, misalnya, dari menyakiti perasaan orang lain. Sebab, diyakini bahwa menyakiti hati manusia, lebih-lebih menyakiti fisik, itu berarti sama saja kita sedang menyakiti Allah. Nauzubillahi min dzalik.
Maka, betul sekali bahwa hijrah itu membutuhkan proses yang panjang, diperlukan waktu yang tidak sebentar, dan proses yang kita jalani itu akan berlangsung selama jantung kita berdetak. Mulai dari buaian sang ibu hingga menjadi mayat yang terkubur dalam tanah.
Kepada sahabat-sahabatku yang membaca tulisan ini, saya ingin mengajak, marilah kita berhijrah karena Allah, dengan melewati proses dan tahapan, sehingga sepanjang usia kita, mendapat keberkahan dari Allah. Aamiin. Semoga bermanfaat. []
*Materi diatas disampaikan dalam Kajian bersama LDK Kimura Universitas Bhayangkara, pada 29 September 2019.
0 komentar: