Orang Bekasi, siapa yang tak kenal dengan KH Raden Ma'mun Nawawi atau yang akrab disebut Mama Cibogo?
Dalam literatur sunda, sebutan Mama bukan berarti ibu atau emak, ya. Tapi Mama adalah sebutan yang memiliki arti sama dengan kiai atau bapak. Singkatnya, Mama merupakan seorang yang dituakan dan dianggap sebagai guru oleh masyarakat di sekitar Jawa Barat dan Banten.
Nah dalam syiar Islamnya, Mama Cibogo menjalani kehidupan keseharian di Kampung Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Nama kampung itulah yang akhirnya menjadi julukan bagi putra dari pasangan KH Raden Anwar dan Ny Hj Romlah.
Dari nasab ayahnya, Mama Cibogo ini terhubung hingga Rasulullah. Ia merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulana Hasanuddin. Banten dengan Cibogo memiliki kedekatan karena sama-sama berada di Tatar Pasundan.
Sejak kecil, Mama Cibogo, sudah dikenal dengan seorang yang sangat giat belajar. Guru pertamanya, tentu sang ayah, Kiai Raden Anwar. Hingga usia delapan tahun, ia digembleng oleh ayahnya untuk belajar memahami dasar-dasar agama.
Selanjutnya, Mama Cibogo tidak lagi belajar memperdalam agama, tapi mulai belajar di Sekolah Rakyat di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Mama menjadi lulusan terbaik dan memiliki keilmuan umum yang unggul.
Setelah itu, Mama tidak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren. Tetapi terlebih dulu membantu ayahnya berjualan kitab dan kemudian mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar.
Baru pada usia 15 tahun, Mama mondok di Pesantren Plered Purwakarta, Pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.
Ada satu kejadian menarik saat ia belajar dengan Mama Sempur. Ketika itu, Mama Cibogo tidak banyak bicara tetapi hanya fokus belajar kitab dan mengaji hingga lupa untuk keluar pondok.
Bahkan, berdasarkan cerita yang didapat dari beberapa sumber terpercaya seperti cucu-cucunya, Mama Cibogo hanya mau keluar kalau disuruh oleh Mama Sempur. Seperti mengambil air dan bercocok tanam. Di sana, Mama Cibogo menjadi penghafal Al-Quran di usia yang masih sangat belia.
Kemudian setelah dirasa cukup belajar di Mama Sempur, Mama Cibogo melanjutkan untuk menimba ilmu ke Makkah. Di sana, Mama belajar banyak ke mualim para pengarang kitab. Diantaranya adalah Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin 'Atharid al-Bughuri al-Batawi al-Jawi al-Makki.
Di Makkah, Mama Cibogo adalah kakak kelas dari KH Noer Ali, Panglima Perang dari Bekasi. Menjelang akhir-akhir pendidikan Mama Cibogo di Makkah, Singa Karawang-Bekasi itu baru tiba di Makkah. Maka besar kemungkinan, kedua ulama Bekasi itu melangsungkan pertemuan pertamanya di Makkah.
Sepulangnya dari Makkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satu tujuannya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari.
Singkatnya, keilmuan Mama diakui oleh KH Hasyim Asy'ari. Bahkan ketika Mama ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena punya murid secerdas KH Raden Ma'mun Nawawi. Seorang ulama Ahli Falak dan Tafsir.
Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama menekuni Ilmu Falak ke Jembatan Lima dan dibimbing langsung oleh Guru Mansur. Karena kecerdasannya, Guru Mansur menganggap Mama sebagai murid paling cerdas dan mengangkatnya satu level dari teman-teman sebayanya.
Kemudian, Mama Cibogo juga belajar ke Habib Usman, Habib Ali Kwitang, dan ulama Betawi lainnya. Setelah berguru di Jakarta, Mama menikahi putri Mama Sempur. Lalu, mendirikan pesantren di Pandeglang. Namun di sana tak lama. Mama Cibogo diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo.
Mama kemudian mendirikan sebuah pesantren di Cibogo pada 1938. Diberi nama Al-Baqiyatus Sholihat. Setelah didirikan, banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah atau belajar ke pesantren Mama. Bahkan hingga saat ini, banyak orang Banten yang belajar di Cibogo.
Sehari-hari, Mama Cibogo fokus di pesantren. Banyak pengajian yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja. Setiap Selasa pagi, dibuka pengajian bagi ustadz atau kiai kampung. Rabu untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu. Sedangkan Ahad untuk umum.
Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, Mama juga seorang wirausahawan. Ketika ingin mendirikan pesantren, Mama banyak menulis, memproduksi, dan menjual berbagai kitab. Kemudian juga membuat berbagai kebutuhan masyarakat seperti kecap dan jamu. Uang hasil dari itu, untuk membiayai pesantren.
Mama Cibogo punya kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ditulis, lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan kemudian dinukil untuk menjadi referensi. Mama banyak menulis kitab dengan aksara arab berbahasa sunda.
Menjelang 1945, Indonesia mengalami gejolak untuk memerdekaan diri dari penjajahan. Di awal-awal tahun 1945, mulailah dibuka pelatihan Laskar Hizbullah. Pelatihan tersebut diadakan oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang ketika itu dinakhodai oleh KH Hasyim Asy'ari.
Pertanyaannya adalah kenapa Kiai Hasyim memilih Cibarusah sebagai tempat pelatihan Laskar Hizbullah? Dalam film Sang Kiai ada ditulis di Perkebunan Karet Cibarusah, yang ketika itu masih masuk wilayah Bogor.
Pelatihan Laskar Hizbullah, ketika itu, diikuti oleh sekitar 500 pemuda dan santri. Setiap pesantren se-Jawa dan Madura mengirim lima orang utusan. Kenapa pelatihan Laskar Hizbullah ini tidak dilaksanakan di Jawa Timur saja? Ada banyak hipotesa untuk menjawab pertanyaan itu. Salah satunya adalah karena Cibarusah dekat dengan pusat pemerintahan Jepang di Jakarta.
Selain itu juga karena di Cibarusah ada Mama Cibogo yang secara emosional dekat dengan KH Hasyim Asy'ari yang merupakan gurunya ketika di Tebuireng dan teman sejawatnya KH Wahid Hasyim.
Sementara peran Mama Cibogo dalam Pelatihan Laskar Hizbullah, dalam beberapa literatur tidak dijelaskan secara spesifik. Tetapi dari beberapa info yang didapat dari narasumber, Mama ditugaskan oleh KH Hasyim Asy'ari untuk melakukan pembinaan mental dan menempa spirit perjuangan.
Ketika pelatihan usai, Laskar Hizbullah dipersilakan kembali ke kampung halaman dan ditugaskan untuk membuat pelatihan yang serupa. Surabaya misalnya, yang kemudian terjadi perang 10 November, merupakan daerah yang paling banyak alumni pelatihan dari Cibarusah.
Usai perang kemerdekaan, Mama fokus kembali membangun pesantrennya. Kemudian juga membuka jejaring kembali dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Ulama-ulama Betawi inilah yang kemudian memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat.
Selanjutnya, Mama membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi. Salah satunya adalah Abah Ghozali Guntung yang merupakan murid Mama Cibogo dari Banten.
Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami Mama, ilmu falak-lah yang menjadi ciri khasnya. Kevalidan data dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain. Pesantrennya itu hingga kini dikenal dengan Pesantren Falak.
Bahkan, Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, dikenal dengan pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan di daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.
Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 dengan meninggalkan 40 anak dan empat istri. Jenazah Mama disalatkan langsung oleh KH Noer Ali. Kini, di Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di sebelah utara ada KH Noer Ali dan selatan ada Mama Cibogo.
*****
Sumber: Ahmad Djaelani, Penulis Buku 'Peranan KH Raden Ma'mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh'.
0 komentar: