Sumber gambar: jawapos.com |
Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam buku Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara menyebutkan, ada dua pendapat mainstream yang hingga kini menjadi rujukan kuat mengenai pesantren tertua yang telah didirikan di Nusantara.
Pertama, ada yang mengatakan bahwa institusi pendidikan Islam yang dapat disebut pesantren paling tua adalah Pesantren Tegalsari di Kabupaten Ponorogo yang didirikan pada tahun 1742. Hal ini berdasarkan survei pertama Belanda soal institusi pendidikan asli Indonesia yang dilakukan pada 1819.
Kedua, berdasarkan hasil pendataan dan pencatatan yang telah dilakukan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), pada rentang tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan, Pulau Madura. Menurut catatan itu, Jan Tanpes II didirikan pada 1762.
Namun terkait catatan tersebut, Mastuhu, dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, menolaknya dengan keras. Sebab, ia berpendapat bahwa jika benar pesantren pertama yang didirikan di Nusantara adalah Pesantren Jan Tanpes II, maka semestinya ada Pesantren Jan Tanpes I yang didirikan lebih dulu.
Dua pendapat itu, berpangkal dari minimnya catatan yang pasti mengenai pesantren. Hal ini sangat masuk akal, mengingat tradisi pencatatan dan juga tulis-menulis orang-orang pesantren kala itu masih sangat lemah, bahkan hingga saat ini.
"Menurut Henri Lambert Choir, tradisi yang melekat pada orang-orang Nusantara sejak dulu hingga kini lebih didominasi oleh tradisi bertutur, bukan tradisi menulis atau mencatat," tulis Kang Helmy, demikian ia akrab disapa.
Kaburnya catatan sejarah mengenai kepastian tentang kehadiran pertama kali pondok pesantren di Indonesia, khususnya soal di mana lokasi dan siapa pendirinya relatif sulit ditemukan, dan itu bisa dimaklumi. Sebab, aktivitas pembelajaran keagamaan, seperti terbentuknya pendidikan formal yang diistilahkan pesantren, telah berlangsung di mana-mana, seiring berlangsungnya islamisasi ke sejumlah wilayah.
Pesantren di Era Kolonialisasi Belanda
Pada era kolonialisasi Belanda, sekitar abad ke-18, nama pondok pesantren sangat populer dan dikenal sebagai lembaga pendidikan rakyat, terutama dalam persoalan penyiaran agama Islam.
Mendapati hal itu, pihak Belanda menaruh kecurigaan terhadap kalangan pesantren. Terlebih menurut mereka, bentuk dan proses pembinaan pesantren ketika itu disatukan dalam sebuah majelis. Belanda khawatir, ajang pembinaan Islam itu dimanfaatkan untuk menggalang gerakan subversif yang menentang pemerintah kolonial, ketika itu.
Kemudian, pemerintah kolonial membuat regulasi dalam rangka memproteksi diri mereka dari kelompok-kelompok pemberontak –atau yang diistilahkan sebagai kelompok ekstremis.
Hal tersebut menunjukkan, eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam diawasi oleh pemerintah Belanda. Regulasi itu yang kemudian menyebabkan pesantren meredup, dalam arti tidak berani secara terbuka menghelat kegiatan-kegiatannya.
"Perlahan, perkembangan pondok pesantren mengalami peningkatan secara kuantitas. Di zaman Belanda saja, jumlah pesantren di Indonesia tercatat dan teridentifikasi sebanyak kurang lebih 20.000 pesantren," tulis Sekjen PBNU itu.
Tipologi Pesantren
Dalam konteks ini, ada dua tipologi pesantren yang dimaksudkan; pesantren yang mempertahankan sistem tradisionalitasnya dan sebagian yang lainnya membuka sistem madrasah, sekolah umum, bahkan ada yang membuka lembaga pendidikan kejuruan.
Walaupun demikian, pesantren tidak pernah melepaskan diri dari penghayatan dan pengamalan ajaran Islam, dengan menekankan pentingnya moralitas, sebagai pedoman hidup untuk berdialektika dengan masyarakat.
Dewasa ini, terdapat tiga tipologi pesantren. Pertama, salafiyyah. Yakni pesantren yang dalam kegiatan belajar-mengajarnya masih berpegang teguh pada sistem pengajaran kitab murni tanpa menyelenggarakan pendidikan formal. Kedua, khalafiyyah. Yaitu pesantren modern yang mendasarkan struktur kurikulumnya kepada pemerintah. Ketiga, kombinasi atau perpaduan antara pendidikan salafiyyah dengan khalafiyyah.
Bersambung~
0 komentar: