Saat Gusdurian Bekasi Raya berkunjung ke GKP Jemaat Cimuning, 14 September 2019 |
Beberapa waktu lalu, foto saya bersama Koordinator Gusdurian Bekasi Raya M Shofiyulloh dan seorang pemuda Kristen –yang akrab disapa Nando, di Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cimuning, Mustikajaya, Kota Bekasi pada 14 September 2019 lalu, viral.
Foto tersebut, mulanya saya unggah di akun facebook pribadi pada 17 September 2019. Saya mengunggahnya dengan dibumbui narasi toleransi dan perdamaian. Berikut ini adalah narasi yang saya buat. Klik di sini untuk melihat postingan itu.
Kepada sahabat-sahabatku, saya sampaikan bahwa santri masuk ke gereja dengan membawa tumpeng itu sama sekali tidak melanggar syariat. Lebih-lebih, kalau yang kau bawa adalah cinta: energi positif untuk membangun peradaban. Itu justru sangat dianjurkan sekali.
Karena yang melanggar syariat itu kalau kau masuk ke dalam gereja dengan membawa bom dan meledakkan diri di dalamnya. Itu baru melanggar syariat dan jangan ditiru.
#TheSantri
Jujur, saya gerah dengan cibiran beberapa orang dan kelompok yang merespons film The Santri garapan Livi Zheng yang dalam trailernya menayangkan adegan santri masuk ke dalam gereja. Banyak yang mempermasalahkan adegan tersebut. Sebagian menyayangkan sosok santri masuk ke dalam gereja, karena dikhawatirkan bakal merusak akidah. Kemudian saya memosting foto tersebut.
Dalam sekitar tiga hari, postingan saya mendapatkan respons: 1091 like, 54 komentar, dan 217 kali dibagikan. Semakin viral lagi, ketika foto tersebut diunggah oleh halaman KataKita pada 18 September 2019; mendapat like 25972, 3045 komentar, dan 1967 kali dibagikan. Postingan di KataKita bisa anda lihat di sini.
Komentar pro dan kontra saya dapatkan, baik di dunia maya maupun nyata. Ada yang memuji, tetapi ada pula yang mengkritisi –cenderung menyerang karena ketidaksukaan. Ada yang menganggap saya sebagai pelaku kebinekaan, tokoh muda toleransi, tetapi ada juga yang menuduh saya liberal, agen pemurtadan, dan lain sebagainya.
Jujur saja, gerakan ini sudah saya mulai sejak 2014. Kala itu, saya senang mengikuti agenda diskusi, baik yang diadakan oleh komunitas secara informal atau instansi pemerintahan secara formal. Kemudian, saya mulai masuk gereja pada Peringatan Natal, 25 Desember 2014 di Gereja Katedral, Jakarta. Saya ikut ke dalam gereja, saat saudara-saudara Katolik sedang melaksanakan ibadah misa natal.
Anda tahu, apa yang terjadi dalam hati saya? Bergejolak. Jantung saya berdetak lebih kencang, tidak seperti biasanya. Lebih-lebih saat umat Katolik itu sedang bernyanyi memuji keagungan Yesus dan Allah.
Saya bersama abang saya, Nisfu Syawaluddin Tsani, memang menjadi tamu undangan resmi dan ditempatkan persis di depan altar. Tertulis sebuah kertas di atas meja sesembahan itu "Tamu Undangan". Sebelum saya tiba, bangku itu sengaja dikosongkan. Betapa terhormatnya kami, begitu pikir saya.
Ketika ditanya oleh bapak-bapak dan ibu-ibu Katolik di belakang saya tentang asal saya, kami serempak menjawab: "Kami Islam, Pak, Bu. Kami hanya ingin tahu bagaimana ibadah kalian. Tenang, kami ke sini membawa misi perdamaian, tanpa mengganggu sedikit pun."
Saat saya menjelaskan itu, mereka semula kaget. Sebab, baru kali ini, kata mereka, ada ibadah misa natal didatangi oleh anak muda yang berasal dari Islam. Tapi setelah panjang lebar dijelaskan, mereka paham. Akhirnya, saya ajak mereka untuk duduk bersebelahan dengan kami. Mereka pun memberi tahu soal gerakan-gerakan yang masuk ke ranah akidah, sehingga jangan sampai dilakukan oleh kami. Ya, kami paham.
Sepanjang ibadah itu berlangsung, dalam hati, saya bersyahadat. Saya, yang baru sekitar satu tahun selesai menempuh pendidikan di pondok pesantren, merasa khawatir dengan akidah saya. Maka, syahadat tak henti-hentinya saya baca, yang terkadang saya lafazkan dengan gerakan bibir. Sejurus kemudian, saya melirik ke arah abang saya, dia pun melakukan hal yang sama; membaca syahadat berulangkali.
Hal lain yang saya rasakan adalah, ketika itu kami sedang menjadi minoritas, yang tentu saja merasa deg-degan, was-was, dan khawatir, karena barangkali ada yang tidak berkenan atas kehadiran kami di Katedral. Ya, saya akhirnya membayangkan dan turut merasakan bahwa betapa menjadi minoritas di negeri ini sangat tidak mudah, bahkan menjadi sebuah ancaman jika kelompok mayoritas tidak punya kedewasaan berpikir dan kelapangan hati untuk menerimanya.
Namun sejurus kemudian, saat sudah berhasil menata perasaan ketika umat Katolik sedang khidmat mengagungkan nama Allah di tempat mulia itu, saya merasa tenang. Apa sebab? Tak lain adalah karena beberapa orang yang tahu bahwa kami adalah muslim bersedia dengan lapang dada menerima kedatangan kami tanpa ada penolakan sedikit pun.
Rupanya, saya berkesimpulan bahwa hanya dengan dialoglah, kita semua dapat menghancurkan tembok besar atau sekat-sekat perbedaan itu; antara kelompok minoritas dan mayoritas.
Namun sejurus kemudian, saat sudah berhasil menata perasaan ketika umat Katolik sedang khidmat mengagungkan nama Allah di tempat mulia itu, saya merasa tenang. Apa sebab? Tak lain adalah karena beberapa orang yang tahu bahwa kami adalah muslim bersedia dengan lapang dada menerima kedatangan kami tanpa ada penolakan sedikit pun.
Rupanya, saya berkesimpulan bahwa hanya dengan dialoglah, kita semua dapat menghancurkan tembok besar atau sekat-sekat perbedaan itu; antara kelompok minoritas dan mayoritas.
Usai berkunjung ke Katedral itu, beberapa waktu kemudian (kalau tidak salah ingat, setahun setelahnya, 25 Desember 2015), saya juga berkunjung ke Kapel Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasinya persis bersebelahan dengan Kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah. Di sana, bersama teman-teman Forum Ide (sebuah komunitas yang aktif mengikuti diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal di Utan Kayu, Jakarta Timur), saya ikut hadir pula dalam perayaan misa natal.
Terakhir, yang saya ingat, bersama abang saya dan beberapa teman dari Forum Ide, mendatangi "markas" Komunitas Kerajaan Eden yang dikomandoi oleh Lia Aminuddin atau Lia Eden, yang pernah dipenjara karena dianggap menyebarkan paham atau ajaran yang sesat.
Terakhir, yang saya ingat, bersama abang saya dan beberapa teman dari Forum Ide, mendatangi "markas" Komunitas Kerajaan Eden yang dikomandoi oleh Lia Aminuddin atau Lia Eden, yang pernah dipenjara karena dianggap menyebarkan paham atau ajaran yang sesat.
Saya juga pernah berkunjung ke rumah-rumah ibadah dan mengikuti agenda lintas agama bersama sebuah LSM bernama: Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ketika itu, saya bersama teman-teman lintas agama, pada sekitar tahun 2016, mengikuti agenda live-in lintas agama du Pesantren Motivasi Indonesia, yang kemudian diakhiri dengan berkunjung ke Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, Vihara –yang saya lupa namanya– di Ancol.
Dari semua aktivitas itu, sama sekali tidak ada prasangka buruk yang saya layangkan kepada teman-teman saya yang berbeda latar belakang keagamaan.
Dari semua aktivitas itu, sama sekali tidak ada prasangka buruk yang saya layangkan kepada teman-teman saya yang berbeda latar belakang keagamaan.
Jadi, saya ingin menyimpulkan bahwa aktivitas saya ke gereja-gereja atau rumah ibadah agama lain saat ini, bukanlah pertama yang saya lakukan. Hanya saja, saya baru kali ini viral di media sosial. Barangkali memang intensitas media sosial akhir-akhir ini sedang meningkat, berbeda dengan beberapa tahun lalu.
Di Kota Bekasi, saya merintis sebuah komunitas: Gusdurian Bekasi Raya. Saya "ditugaskan" untuk konsentrasi pada isu lintas agama. Belakangan ini, Gusdurian Bekasi Raya intens melakukan komunikasi dengan Jemaat Gereja Kristen Pasundan. Sudah empat gereja Kristen Pasundan (GKP) yang saya kunjungi dan menjadi sahabat yang sangat karib dengan Gusdurian Bekasi Raya. Yakni GKP Seroja Bekasi Utara, GKP Kampung Sawah Pondokmelati, dan GKP Cimuning Mustikajaya, dan GKP Bekasi yang letaknya persis di samping terminal Bekasi (pintu belakang terminal dekat pasar baru).
Lalu, apa yang saya bicarakan? Yang jelas, pesan dan semangat toleransi bagi kalangan pemuda untuk membangun Kota Bekasi dan juga negeri. Agar ke depan, kita tidak lagi mendebatkan persoalan keagamaan yang dapat memicu konflik, tetapi justru mampu membangun peradaban bersama untuk sebuah negeri yang telah digambarkan dalam Al-Quran: baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan).
Jujur saja, saya sampai detik ini sama sekali tidak mempermasalahkan berbagai pujian dan cibiran yang datang silih-berganti. Sebab, saya hanya ingin mengabarkan bahwa Islam adalah agama yang ramah, yang senantiasa bersedia menebar cinta kasih kepada semesta atau yang kita kenal dengan istilah rahmatan lil alamin. Semakin keramahan itu ditujukan ke publik, maka Islam akan semakin terlihat kekuatannya.
Dalam suatu kesempatan, Almaghfurlah KH Hasyim Muzadi menuturkan bahwa kalimat Allah dalam Al-Quran, yang paling tengah-tengah berbunyi, "Wal Yatalaththof!" yang berarti adalah sebuah seruan, "Lembutlah kamu!"
Jadi, kekuatan Islam ada pada kelembutannya. Keliru jika memahami bahwa Islam itu keras dan eksklusif. Allah pun demikian, mengajarkan Nabi Muhammad untuk berdakwah dengan kelembutan. Kata Allah, "Ud'u ilaa sabili rabbika bilhikmah wal mauidzhotil hasanah wa jaadilhum billati hiya ahsan." Artinya, "Ajaklah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan teladan yang baik. Kalau yang demikian itu belum cukup, maka berdebatlah dengan santun."
Ada banyak sekali pesan-pesan perdamaian yang dimaktubkan dalam kitab suci, untuk kemudian didakwahkan kepada publik, sehingga output-nya adalah tercipta sebuah tatanan masyarakat yang berkeadaban. Keberhasilan dakwah itulah yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad ketika hijrah dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah) dan membentuk sebuah tatanan masyarakat madani (beradab).
Jika yang saya lakukan selama ini dirasa keliru, maka mungkin saja demikian. Sehingga saya perlu mengubah metode dakwah keislaman yang lebih baik lagi, tapi dengan bagaimana? Saya perlu mencari dan menggali solusi dari cerdik-pandai sekalian. Wallahua'lam...
Amin (kalau dituls panjangnya bisa dua halaman folio ketik rapat, ha ha ha )
BalasHapus