Sumber foto: akun twitter @islamidotco |
Siapa yang tidak kenal dengan Sakdiyah Ma'ruf? Dia adalah seorang perempuan, ibu beranak satu, yang terlahir dari komunitas keturunan Arab, yang kemudian menjadi pekerja humor; stand up comedy. Baginya, humor adalah cara yang dilakukan untuk mendakwahkan Islam dengan sejuk.
Jujur saja, saya belum pernah menyaksikan seorang dosen ini melawak. Pernah ketika itu, saat Harlah Gus Dur beberapa waktu lalu di Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta, Mbak Sakdiyah ini diundang sebagai pengisi acara. Tapi sayang, saya datang tidak tepat waktu, sehingga belum pernah sama sekali saya melihat lawakannya secara langsung.
Nah semalam, Komunitas Musisi Mengaji atau Komuji mengadakan sebuah pertemuan yang diberi nama Picnikustik bertajuk Sholeh Tanpa Menghakimi. Oleh sebab satu dan lain hal, saya tidak sempat hadir pula untuk melihat Mbak Sakdiyah 'berduet' dengan Mahaguru Ulil Abshar Abdalla.
Untungnya, saya bersyukur sekali, zaman sudah sangat canggih. Mas Ulil, melalui bantuan Mbak Admin Ienas Tsuroiya melakukan siaran langsung melalui akun facebook Ulil Abshar Abdalla. Dari sanalah saya mengintip hal-ihwal apa saja yang dibicarakan oleh Sakdiyah Ma'ruf yang kocak ini.
Secara umum, dari awal hingga akhir, Mbak Sakdiyah ini bicara sangat serius, walaupun beberapa kali ada lucunya. Sampai-sampai Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus berkomentar, "Baru saya rasani, tumben Sa'diyah serius..."
Setelah saya menonton hingga tuntas, saya jadi ingin menuliskannya karena ada banyak yang penting. Selain itu, barangkali ada juga yang bisa kita petik manfaatnya dari berbagai pengalaman Mbak Sakdiyah. Dia bisa saja kita jadikan sebagai simbol dari perlawanan terhadap budaya feodalistik di negeri ini. Melawannya, tentu saja dengan elegan dan tanpa menghakimi. Ya, seperti melucu itu barangkali.
Di awal, dia memperkenalkan. Bahwa dirinya terlahir di komunitas yang sangat konservatif, sebuah komunitas keturunan Arab di Pekalongan, Jawa Tengah. Berbagai hal yang akhir-akhir ini banyak dialami dan diperbincangkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sesungguhnya adalah aktivitas keseharian yang sudah dialami Mbak Sakdiyah sedari kecil.
Pada lingkungan yang membesarkannya itu, berbagai perilaku atau praktik beragama sebagian orang yang terwujud dalam tradisi seperti upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian seringkali dianggap sebagai sesuatu yang dekat pada kesyirikan.
Hal-hal itu sudah didengarnya saat kecil dulu. Kemudian, segala sesuatu yang dihadapi dalam dekade terakhir ini bukanlah sesuatu atau fenomena baru. Tetapi sesungguhnya sudah cukup lama berkembang. Hanya saja, saat ini muncul atau beredar melalui media sosial.
Mulanya, fenomena keagamaan itu hanya terjadi dalam sebuah komunitas kecil saja, seperti misalnya keluarga, dalam rangka membentengi dari perkara tahayyul, bid'ah, churafat, dan syirik. Tapi kemudian oleh media sosial terekspos sedemikian rupa, sehingga dibaca dan disaksikan semua orang dengan berbagai latar belakang. Lalu, beredarlah menjadi seperti ujaran kebencian yang kian meluas.
Hal tersebut, bagi Mbak Sakdiyah–dengan gaya bicara yang serius itu–merupakan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Hanya saja, bentuknya berubah menjadi lebih luas. Menjadi serupa dengan ujaran kebencian karena terfasilitasi media sosial.
Setelah dia membicarakan hal itu, Mbak Sakdiyah kemudian meminta izin kepada pembawa acara untuk membacakan catatannya. Sebuah catatan yang sangat terperinci mengenai berbagai pengalaman yang dia alami, seputar penghakiman-penghakiman yang dilakukan oleh orang beragama.
*********
Catatan Sakdiyah Makruf
Tiada hari tanpa menghakimi di media sosial. Selalu ada saja perdebatan, pertengkaran, dan meributkan hal-hal yang berurusan dengan sesuatu yang sebenarnya sangat privat. Yaitu urusan agama.
Bapak dan ibu sekalian, saat berhadapan dengan keyakinan atau tafsir agama tertentu, saat ini sudah tidak banyak lagi ruang untuk bicara, kritik, apalagi humor.
Dalam kehidupan beragama kekinian, humor lebih tabu daripada memukul istri. Memukul istri bisa saja menemukan justifikasinya dalam tafsir agama yang rigid tentang kewajiban seorang istri untuk patuh. Kalau suami yang tidak patuh, bagaimana? Yaaaa, itu urusan yang bersangkutan dengan Tuhannya. Toh, suami katanya pemimpin bagi istri. Pemimpin sih terserah.
Izinkan saya untuk mengajak ibu dan bapak sekalian, teman-teman, untuk ke rumah saya.
Bangsa kita baru saja kehilangan putra terbaik bangsa Presiden BJ Habibie. Saya bersama keluarga besar, sebagai rakyat jelata, hanya bisa nonton bareng prosesi pemakaman sembari turut mendoakan dan mengenang jasa beliau.
Selayaknya nonton bareng, ada saja celetukan-celetukan penonton. Seperti misalnya, saat Ibu Iriana Joko Widodo memasuki rumah duka. Ada yang bilang, "Apaan, Ibu Iriana berjilbabnya kalau acara-acara begini saja. Jilbabnya juga melorot-lorot."
Kemudian memasuki rumah duka, ada keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terlihat Annisa Pohan merangkul dan mencium pipi singkat, seraya menyampaikan rasa duka kepada putra Presiden Habibie.
Penonton berikutnya (berkata), "Eh bukan muhrim, tidak boleh cipika-cipiki!"
Sungguh khusyuk suasana duka di keluarga kami.
Dalam konteks yang sangat pribadi atau keluarga, maupun konteks yang lebih luas di masyarakat kita, beberapa tahun terakhir ini kita melihat praktik beragama yang sempit, rigid, dan penuh penghakiman. Seolah tidak ada ruang perbedaan cara mengabdi pada Tuhan, juga tidak ada ruang untuk dialog antarkebenaran. Saya tidak bicara yang A salah atau yang B benar, tapi dialog antarkebenaran.
Terlahir dari komunitas yang mengaku keturunan Arab di Pekalongan, sebenarnya tidak ada yang asing dari fenomena yang akhir-akhir ini kita saksikan.
Restriksi (larangan) terhadap perempuan, pernikahan anak, normalisasi kekerasan, pemisahan ruang publik dan privat antara perempuan dengan lelaki, dibungkus oleh tafsir agama yang sering monolitik. Itu menjadi seperti aktivitas keseharian bagi kehidupan saya. Saya sama sekali tidak heran kalau melihat apa yang terjadi di dalam lingkungan kita sekalian akhir-akhir ini.
Selama ini kita sering mendengar, kenapa sih orang-orang yang keturunan Arab harus menikah dengan orang-orang yang keturunan Arab juga, ya? Berikut ini adalah jawaban dari salah seorang tetangga saya.
"Kita harus menjaga kemurnian akidah. Kalau menikah dengan orang Jawa, Islamnya masih campur-campur."
Saya tidak tahu juga. Mungkin, dianggapnya setengah menyembah Tuhan setengah menyembah keris atau bagaimana.
Saya jadi ingat, salah satu pengalaman keluarga besar kami.
Menjelang pernikahan paman saya dengan seorang tetangga yang juga keturunan Arab, nenek saya yang keturunan Arab menyarankan dengan sungguh-sungguh untuk calon istri paman saya agar melemparkan celana dalamnya ke atas atap rumah. Katanya, untuk mencegah turun hujan pada saat resepsi pernikahan.
Sungguh murni akidah kami!
Hidup di tengah lingkungan yang penuh kontradiksi, krisis identitas, serta tekanan terhadap perempuan, saya akan tumbuh dewasa dengan sangat merindukan Indonesia.
Indonesia dalam pandangan saya adalah ruang yang luas, lega, dimana saya bisa berkarya, bebas berekspresi, dan boleh punya pacar. Indonesia adalah imajinasi saya tentang hidup dan masa depan. Saya menyadari bahwa sebagian hidup saya, akan saya persembahkan untuk perlawanan.
Saat SMA dulu, pertamakali saya menyampaikan kepada ibu bahwa saya tidak pernah mau menikah. Ibu saya waktu itu bilang, "Hus, nanti ada malaikat lewat, mencatat, kamu benar-benar nggak bisa nikah lho."
Saya berpikir, saat sekolah di madrasah, memang ada malaikat di kiri-kanan saya yang selalu mencatat. Rakib dan Atid. Tapi kenapa yang ini kok cuma lewat, ya?
Ironi dalam kehidupan yang serba ketat, membawa saya ke panggung saat tidak berhasil menemukan atau bertemu dengan Indonesia yang saya impikan.
Pertamakali dalam hidup saya, saya bertemu dengan teman-teman yang menolak saling bersalaman. Saya pikir, mungkin ini kesadaran kesehatan level terbaru. Masuk akal juga, tidak mau menjabat tangan laki-laki, apalagi di kampus. Anak kampus kan, kita tidak tahu tangannya habis main ke mana, dicuci atau enggak. Jadi jijik juga.
Pertamakali dalam hidup saya, saya bertemu dengan teman-teman yang bercadar. Mereka menurut saya, lebih visioner menangkap potensi pencemaran udara dibandingkan orang urban yang baru ribut setelah ada aplikasi pembaca polusi.
Pertamakali dalam hidup saya, saya duduk berseberangan dengan teman laki-laki dibatasi tirai. Saya pikir, mungkin di seberang sana adalah kumpulan para penyiar radio. Tidak ganteng-ganteng amat, tapi suaranya terdengar seksi.
Pertamakali dalam hidup saya, ada teman laki-laki yang menolak melihat wajah saya saat berbicara. Menunduk saja dia. Saya bilang, "Hei kamu, mau bicara dengan saya atau lihatin dada saya? Kok nunduk terus?"
Pertamakali dalam hidup saya, saya merasa tidak hanya ingin berjuang dan melawan untuk komunitas saya, tapi lebih penting dari itu, yakni untuk Indonesia yang ada dalam mimpi saya.
Menurut anda, apakah yang saya lakukan ini bukan sesuatu yang sulit? Memilih jalan beragama atau mendakwahkan agama melalui humor, saya sering mendapat kritikan. Saya sering dibilang, "Sebagai seorang muslim, kamu tidak boleh berkiblat ke Barat."
Saya pikir, sebagai seorang muslim, kalau tidak berkiblat ke Barat, saya salat menghadap ke mana?
Saya juga sering mendapat komentar, "Dengan apa yang kau lakukan itu, saya akan senang melihatmu terbakar di neraka."
Saya pikir, kalau kamu bisa melihat saya terbakar di neraka, bukankah kamu di neraka juga?
Ada saja yang demikian.
Tapi saya pikir, kita harus hati-hati, bahwa bukan hanya orang-orang yang sering kita anggap sebagai konservatif dan berpemikiran tertutup, yang kemudian menghakimi orang lain. Pengalaman saya di dunia Barat, berkata sangat lain.
Dalam berbagai kunjungan, saya selalu mendapatkan sapaan 'sok baik' dari seorang kulit putih yang bilang, "Oh kamu perempuan muslim di Indonesia ya? Hidupmu pasti menderita."
Selalu seperti itu.
Saya pikir, iya. Kami menderita karena terlalu banyak pilihan tempat liburan.
Lalu ada juga yg bertanya pada saya, "Kamu kan hidup di negara tropis, apakah tidak panas memakai jilbab setiap hari?"
Saya bilang, kalau yang ini ada airconditionernya, anda mau invest? Inovasi lho ini.
Ada juga yang bilang dengan sangat bangganya. "Kita ini negara merdeka, menjunjung tinggi HAM, kamu datang ke konferensi ini tidak bersama suamimu, atau ayah dan walimu, dibuka saja jilbabnya."
Saya bilang, "Saya tidak berada disini bersama suami, ayah, atau wali saya. Tetapi Allah SWT bersama saya."
Ini juga yang harus kita waspadai, dengan prasangka kita terhadap saudara-saudara kita sesama muslim.
Saya kira, diskusinya bukan hanya persoalan sholeh tanpa menghakimi, tapi kita ini yang mengaku progresif dan berpemikiran terbuka serta penganut Islam moderat, kerjaannya setiap hari juga membodoh-bodohkan orang; bilang mereka fundamentalis, konservatif, dan radikal.
Saya mendapatkan banyak keluhan dari anak-anak SMA yang saya temui dalam berbagai pelatihan-pelatihan yang saya hadiri atau fasilitasi. Kata dia, "Apa yang bisa saya lakukan. Saya ini berjenggot. Kebetulan juga celana panjang seragam saya sudah kekecilan. Lalu saya di-bully. Oleh teman-teman sekelas, saya dibilang radikal dan teroris."
Ini adalah kenyataan. Kita tidak bisa bicara hanya satu sisi saja. Saya kira, ini adalah saatnya untuk kita mendengar.
Saya ingat, salah satu materi joke saya, tentang perempuan yang memakai burka. Bahwa burka itu bisa mendapatkan banyak keuntungan. Sebab, mereka yang mengenakan itu akan punya private cinema screening spaces. Selain itu, siapa tahu bisa ada minibar di dalamnya.
Joke itu lucunya biasa saja. Kalau dinilai, mungkin enam atau tujuh. Tetapi saya berjanji untuk tidak membawakannya di forum apa pun, kecuali disertai penjelasan. Mengapa demikian? Karena saya tidak berada pada posisi untuk mengolok-olok sesama perempuan.
Kalau yang kita bicarakan adalah sistem yang membuat orang menjadi kaku, berpikir rigid, penuh penghakiman, maka saya kira perempuan–bagaimana pun juga–berada dalam lapis terbawah sistem tersebut.
Jadi kalau anda berbicara tentang hijabnya orang, burkanya orang, nikabnya orang, think again. Shame on us dan mereka yang mengatakan bahwa dirinya progresif.
Shame on us!
*********
Setelah saya mendengar kata shame on us sebagai kalimat terakhir dari sebuah catatan yang dilontarkan Mbak Sakdiyah, saya jadi bertanya-tanya, "Bukankah kalimat shame on us itu juga merupakan bentuk penghakiman, walau dalam bentuk yang lain?"
Semoga pertanyaan saya yang demikian itu, tidak dengan maksud menghakimi kalimat Mbak Sakdiyah. Semoga Allah mengampuni. Wallahua'lam...
0 komentar: