Tahun ini sudah berjalan lebih dari satu bulan. Mimpi-mimpi dan resolusi yang direncanakan sejak lama, mesti segera diwujudkan. Salah satu impian saya pada 2021 ini adalah ingin mengajak kita semua untuk belajar menulis dengan baik dan benar.
Menulis memang perkara mudah, tetapi hanya segelintir orang saja yang mampu menulis dengan baik, sehingga menjadi renyah ketika dibaca.
Sesungguhnya, saya tidak sama sekali punya keterampilan kecuali menulis yang dilakukan setiap hari. Bahkan, dari menulislah saya bisa mendapatkan penghasilan yang kemudian dipakai untuk membayar cicilan rumah, membayar servis motor, dan persiapan menikah di tahun depan. Hahahahahaha percaya nggak?
Impian untuk memberikan pemahaman kepada teman-teman soal bagaimana menulis dengan baik dan benar, sudah lama terpendam. Ini serupa nazar ketika saya sedang dalam masa hopeless, hilang harapan.
Ya, sekira akhir tahun 2019 saya benar-benar merasakan bahwa hidup serasa tidak berguna. Kuliah sudah hampir enam tahun, skripsi belum juga selesai, dan tidak pernah punya uang setiap hari. Inilah catatan kilas balik perjalanan sebelum 2021.
Lingkaran setan
Jadi, awal persoalan dimulai dari sini. Ketika sudah seharusnya menyelesaikan studi, saya justru berselancara di luar kampus. Mencari kesibukan yang lain. Bahkan, hingga kini pun, saya tidak tahu kenapa waktu itu lebih memilih ‘ke luar’ kampus untuk berkesibukan yang tidak jelas. Sesuatu yang dicari pun tidak sama sekali ditemukan. Nihil.
Kesemrawutan hidup ini bermula sekali pada sekira 2018. Saat itu, saya menjadi relawan politik. Baik di tingkat daerah (Pilkada Kota Bekasi) maupun di tingkat nasional (Pilpres 2019). Hasilnya? Nihil. Pascapilpres semuanya berubah.
Saya seperti disadarkan oleh banyak kejadian yang ternyata hampir saja meluluhlantakkan idealisme. Sebab awalnya saya pikir, saat kontestasi politik usai, kehidupan di lingkaran ini menjadi kembali semula yang benar memperjuangkan gagasan bersama. Tetapi ternyata tidak sama sekali, karena mementingkan perut agar kenyang setiap hari adalah agenda yang harus dijalani. Kepentingan kelompok tidak diindahkan.
Dengan sangat berat hati, pada pertengahan 2019, akhirnya saya tinggalkan lingkaran setan yang politis itu. Sebuah lingkaran yang hanya beriorientasi pada kepentingan diri sendiri. Perut kenyang, hati senang. Idealisme? Hancur-lebur.
Bagi saya, orang-orang yang ada di lingkaran itu, terutama mereka yang semula sepakat menjaga kesucian idealisme tapi akhirnya tergoda dengan iming-iming duit haram adalah orang-orang munafik.
Gila, saya merasa tertipu berada di lingkaran ini. Awalnya mereka sepakat memperjuangkan idealisme, tetapi ternyata omong kosong. Tergoda juga dengan harta duniawi. Hahahahaha.
Saya tidak menemukan kebenaran di dalam lingkaran itu. Semua sudah bias. Karena yang ada hanya pembenaran-pembenaran yang sifatnya politis. Bahkan, orang-orang di lingkaran itu, sudah sangat diplomatis sekali gaya bicaranya. Mirip politisi-politisi anyaran yang belagu karena baru jadi orang kaya, dari duit hasil pemalsuan berbagai dokumen yang diserahkan ke negara. Bocorin jangan nih? Hahahaha.
Bersyukur sekali saya tersadar, lingkaran itu ternyata benar-benar tidak baik. Walhasil saya menarik diri, tetapi bukan menyerah. Saya lebih memilih untuk tetap menjaga idealisme agar tidak runtuh. Di sini, saya memutuskan untuk mencari ‘jalan baru’ untuk menemukan kehidupan yang benar-benar saya idamkan.
Namun ketika saya sudah keluar dari lingkaran itu, saya masih punya satu pekerjaan lain yang harus dituntaskan, yaitu skripsi yang terbengkalai akibat melingkar di lingkaran setan itu. Hingga akhir 2019, kuliah sudah jalan enam tahun, saya hampir putus asa. Semua orang tidak bisa diandalkan, kecuali diri sendiri untuk benar-benar berkomitmen menyelesaikan tugas akhir itu.
Nah, setelah hampir putus-asa itulah, pada akhir 2019, saya mendatangi acara tabligh akbar yang diadakan alumni Buntet Pesantren, di masjid Perumahan Prima Harapan, Bekasi Utara. Tabligh akbar itu mendatangkan Ustadz Yusuf Mansur. Saya datang dengan membawa harapan agar mampu menuntaskan masalah yang sedang dihadapi. Barangkali sang ustadz mampu memberikan solusi. Begitu pikir saya, ketika itu.
Di awal Januari 2020, saya kemudian teringat tips atau cara mengatasi masalah ala Ustadz Yusuf Mansur yang disampaikannya dalam acara tabligh akbar di pengujung tahun 2019 itu. Yaitu doa. Prinsipnya: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Doa apa yang diajarkan oleh UYM ini? Yakni doa untuk orang lain yang sedang dilanda kesusahan sebagaimana kita.
Artinya, kalau kita sedang kesulitan karena kemiskinan maka kita harus mendoakan orang-orang di sekeliling kita yang miskin agar menjadi kaya. Atau kalau kita sedang kesulitan mencari jodoh, maka kita harus mendoakan orang lain di sekitar kita agar cepat dapat jodoh. Nah soal skripsi ini, saya menjalankan amalan yang sangat sederhana itu.
Setiap selesai salat, saya mendoakan teman-teman dan adik-adik kelas saya agar dimudahkan dalam menggarap skripsi. Saya juga berdoa agar mereka tidak dipersulit dalam proses kelulusan atau 'dibantai' ketika presentasi hasil penelitian di hadapan dosen penguji, di ruang sidang. Apakah doanya harus menggunakan bahasa arab? Tentu saja tidak. Allah paham semua bahasa, kok.
Doa yang baik, menurut UYM dan saya sepakat, adalah doa yang dirincikan serinci-rincinya. Kita harus mempreteli doa itu. Sebut nama siapa orang yang sedang kita doakan, sebut apa yang ingin kita doakan. Semuanya harus disebutkan dengan sangat rinci. Ya, Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang tidak terlihat, terdengar, dan terdeteksi oleh hamba-Nya.
Kenapa kok kita harus mendoakan orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri? Jawabannya adalah karena kalau kita berdoa untuk diri sendiri, akan ada banyak penghalang: dosa yang terlalu banyak dan amal kebaikan yang sangat sedikit. Tetapi berbeda halnya kalau kita mendoakan orang lain. Berdoa untuk orang lain sama sekali tidak ada batas penghalangnya.
Bahkan, malaikat rahmat tidak segan-segan mendoakan si pendoa, yakni kita sendiri, untuk mendapatkan hal serupa dari yang kita doakan untuk orang lain. Itulah sebabnya kenapa para guru, ulama, dan kiai kita sering mengajak umat Islam untuk saling berdoa satu sama lain. Saya pikir, di agama lain, juga menerapkan hal yang sama. Ya, saling mendoakan.
Berbagai kemudahan dalam menggarap skripsi mulai terasa, saat awal-awal 2020. Terutama sejak Maret, awal Covid-19 melanda negeri ini dan harus ada karantina selama 14 hari. Semua harus dilakukan di rumah. Saat itu, tentu saja saya memanfaatkan waktu untuk menggarap skripsi. Maret, April, Mei. Tiga bulan inilah, masa-masa saya menggarap skripsi.
Memasuki Juni, keluarga saya dirundung kesedihan. Bapak harus melangsungkan operasi prostat. Di rumah sakit, baru kali itu saya melihat bapak kesakitan setelah sekian lama, bahkan sejak kecil, bapak adalah sosok yang benar-benar tangguh. Tetapi ketika itu, pascaoperasi terutama, saya dan dua orang kakak saya, bergantian melayani keperluan bapak. Di samping itu, masih di bulan yang sama, kakak ipar saya segera melahirkan. Sudah bulannya.
Tepat di hari ulang tahun saya, 6 Juni 2020, bapak keluar dari rumah sakit dan memilih untuk berobat jalan. Sementara seminggu setelahnya, 13 Juni 2020, keponakan saya lahir. Dia perempuan bernama Alenaya Cahaya Aksara, putri pertama dari Nisfu Syawaluddin Tsani dan Dwi Niar Damayanti.
Juni 2020, terdapat perasaan campur aduk. Antara sedih, senang, haru, gembira, dan was-was. Pasalnya, pada 24 Juni 2020, saya akan melangsungkan sidang skripsi setelah enam tahun kuliah. Tentu saja saya berhasil melewati masa-masa sulit ini dengan baik. Saya meyakini bahwa kesulitan akan selalu membersamai kemudahan. Sejak Juni ini, harapan yang semula hilang, mulai berangsur kembali.
Setelah bapak pulih, Alenaya lahir dengan sempurna, dan sidang skripsi tuntas dengan hasil memuaskan, tapi saya malah jadi bingung. Bingung harus kerja di mana. Ya, saya harus tetap mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Bekerja maksudnya, mencari penghasilan. Usai sidang skripsi, sekira di akhir Juni, saya menetapkan dua pilihan pekerjaan ke depan.
Salah satu dari dua pilihan itu adalah saya berencana melamar untuk menjadi wartawan nasional di NU Online. Toh sudah sejak 2017, saya menjadi kontributor warta di sana. Pada Maret 2018, tulisan-tulisan saya di NU Online sudah resmi diberi harga. Pikir saya, ketika nanti saya melamar di NU Online, saya sudah punya bekal cukup. Ditambah, saya menempuh kuliah dengan konsentrasi jurnalistik. Linier sekali, kan?
Tetapi sesungguhnya, saya sudah sejak lama punya prinsip ingin bekerja (atau menghasilkan uang) tanpa melamar dan tanpa lampiran ijazah, SKCK, kartu kuning, surat lamaran, CV. Selama satu bulan, sejak Juni, saya menimbang-nimbang prinsip itu. Haruskah tetap mempertahankan prinsip atau tidak? Saya gamang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Akhir Juli 2020, saya ditelpon oleh salah seorang redaktur NU Online. Diminta untuk menghadap pemimpin redaksi (pemred), dan diajak untuk bergabung, membantu keredaksian nasional NU Online. Wah, saya senang bukan kepalang. Impian saya menjadi wartawan NU akhirnya terwujud. Saya iyakan seketika itu. Kemudian bertemu pemred pada awal Agustus 2020. Terhitung sejak 10 Agustus 2020, saya mulai bekerja untuk NU Online.
Bangga dan bahagia sekali, bisa ikut serta menggawangi medianya ormas Islam terbesar di negeri ini. Meski penghasilan yang diperoleh tidak sebesar gaji karyawan pabrik, tetapi setidaknya saya memiliki kepuasan tersendiri karena bekerja sesuai dengan passion dan keterampilan diri sendiri. Di saat orang-orang sulit mendapatkan pekerjaan akibat pandemi, saya justru ditawari kerja yang sesuai dengan keahlian sendiri, tanpa persyaratan apa pun, kecuali pengalaman menulis jurnalistik yang sudah dilakukan sejak 2017. Menarik bukan?
Ya, saya bangga karena sama sekali tidak bergantung hidup pada orang lain. Murni, saya bergantung hidup pada keterampilan menulis, terutama keahlian jurnalistik. Melakukan wawancara, menentukan sudut berita, judul, dan menyajikan informasi dengan bahasa yang enak dibaca.
Nah sekarang di tahun 2021 ini, waktunya nazar itu perlahan diwujudkan. Di web pribadi saya ini, aruelgete.id, saya akan memberikan berbagai materi, tips, dan pemahaman tentang kebahasaan dalam tradisi menulis. Sebab, bahasa lisan dengan bahasa tulisan tentu saja beda.
Saya terkadang geregetan melihat orang yang menulis tapi kerapkali menabrak kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu, agar menjadi amal jariyah saya, ke depan akan disajikan berbagai pemahaman tentang cara membuat supaya tulisan kita enak dibaca. Nantikan tulisan-tulisan berikutnya.
Wallahua'lam...
0 komentar: