Ramadhan bulan mulia.
Sebuah arena kebaikan untuk saling berlomba. Sebagai tempat melakukan peningkatan kadar intelektual. Juga ajang memperhalus rasa, menyeimbangkan raga,
serta melatih kejujuran dalam dada.
Ramadhan bulan pendidikan.
Orang-orang beriman dididik, agar menjadi takwa dan menjadi manusia berkualitas paling baik.
Ramadhan bulan cinta.
Ramadhan bulan cinta.
Segala yang dilakukan di dalamnya merupakan manifestasi cinta. Banyak kesempatan emas tercipta. Kesempatan-kesempatan itu dimanfaatkan agar cinta terejawantah pada Pemilik Jiwa.
Namun bagi para bijak bestari, cinta tak butuh eksistensi karena cinta bersemayam di ruang paling sembunyi, dalam sanubari.
Karenanya, cinta tak butuh peng-aku-an. Tak butuh hormat. Cinta juga tak perlu apresiasi yang membuatnya kian meninggi. Cinta tak pernah berkenan pada perasaan jemawa, walau sedikit saja.
Lebih jauh,
Cinta bukan sesuatu yang dibangun dari pondasi kemunafikan dan kepura-puraan.
Ramadhan tak pernah beri ruang bagi kepura-puraan. Kalaupun iya, maka sungguh menyedihkan. Atau, barangkali, sebagian besar manusia memanfaatkannya untuk meraup keuntungan.
Orang-orang berlomba-lomba tampil di muka, memakai kostum keagamaan. Penceramah-penceramah pun demikian. Mereka mulai mencari bahan untuk diorasikan di atas mimbar kehormatan.
Ramadhan tak pernah beri ruang bagi kepura-puraan. Kalaupun iya, maka sungguh menyedihkan. Atau, barangkali, sebagian besar manusia memanfaatkannya untuk meraup keuntungan.
Orang-orang berlomba-lomba tampil di muka, memakai kostum keagamaan. Penceramah-penceramah pun demikian. Mereka mulai mencari bahan untuk diorasikan di atas mimbar kehormatan.
Hal yang dikhawatirkan adalah saat mereka, para penceramah-penceramah itu, menggunakan agama seraya memanfaatkan Ramadhan demi mendapat keuntungan semata.
Sekalipun berkali-kali mulut sudah berbusa dan terus berucap: lillahi ta'ala.
*ditulis pertama kali di Bekasi pada 2019
*ditulis pertama kali di Bekasi pada 2019
0 komentar: